Senin, 31 Mei 2010

SORE INI


Sore ini, denting hujan terdengar merdu.
“Saat seperti ini, yang kutunggu hanya pelangi!”, katanya.
“Baiklah, mari kita menunggunya bersama. Tapi kalau ia tak datang?”
“Tak mengapa, bukankah dalam jiwa kita selalu ada pelangi seperti yang aku bilang?”
Ah, jawabannya membuatku tersenyum.
~~~
Sayangnya, tidak semua orang menginginkan sang pelangi bergantung di langit-langit hatinya. Ada yang menarik untuk kemudian dibuangnya ke tempat sampah kebencian. Entah benci dengannya, atau memang tak suka akan warna-warni. Tak merasakan riangnya dunia, sengaja membangun sekat agar orang lain tidak bisa bercengkrama bebas dengannya. Seperti kemarin sore, Allah mempertemukanku dengan ia. Yang telah tercerabut pelanginya. Datang dengan tergopoh-gopoh, nafasnya berburu dengan langkahnya.
“Assalamu ‘alaikum!”
“Wa’alaikum salam, masuk kak!”, ajakku.
Ia mendudukkan dirinya di kursi ruang tamu, sementara aku bersama adik-adik Ibnu Qolby masih memandangnya penuh heran. Kujelaskan bahwa hanya aku disini menemani adik-adik, tak ada kakak-kakak yang lain. Terang saja kecewa melumuri wajahnya. Tiba-tiba saja ia terisak, aku terkaget. Bagaimana tidak, ini orang datang-datang langsung nangis aja!
“Ada apa kak?”, tanyaku.
Dilepaskannya kedua tangan yang tadi ia tangkupkan di wajahnya. Tapi kucari air mata, mengapa aku tak menemukannya? Padahal tadi ia terisak keras?. Ah, sudahlah.. husnu zhon dong!
“Adikku di Jakarta sedang koma. Ayahku juga sakit parah!”
Lho? Ada yang aneh!
“Aku butuh uang dua ratus ribu, aku harus segera berangkat ke Jakarta. Tadi telah kucek harga tiket harga empat ratus lima puluh ribu, tapi yang ada hanya enam ratus ribu. Setengah enam kapal akan segera berangkat!”
Kutengok jam di dinding, jam setengah lima. Berarti sejam lagi!.
“Ada tidak, yang punya golongan darah AB+? Beratnya 65 kilogram?”
Wah, yang benar ajha? Tidak liat apa, disini hanya ada aku dan adik-adik Ibni Qolby? Aku saja yang besar begini (iyakah?:-D) beratnya gak sampai segitu. Apalagi yang laen cuma anak-anak? Kalo mau ambil darah kan tidak perlu beratnya sampai 65 kilo? Seingatku cuma diatas 45 kilo?
“Baiklah, aku kira ada kakak pembina yang lain. Baiklah aku harus buru-buru!”
“Em, disini ada uang kok, kak! Tapi ngga’ sampai segitu, yang ada hanya seratus ribu. Kebetulan tadi baru dikasi sama teman. Eh, tapi masih ada kok, uang simpanan lima puluh ribu. Seratus lima puluh aja jadinya!”
Uang yang baru saja aku terima dari sekolah masih di dalam amplop aku tambahkan dengan uang simpananku.
“Ngga’ papa kok! Segini aja! Ok, saya pulang dulu, saya buru-buru. Nanti uangnya, saya titip ke kakak yang lain yah?”
“Iya kak, hati-hati ki’!”, kataku.
Wah, senang melihat ia tak sesedih tadi. Ia segera berlalu, menyisakan pikiran-pikiran yang membuatku otakku terus berputar. Yang jelas tertangkap adalah ketika ia katakan bahwa ayahnya sakit, bukannya saat pertama kali ke Ibni Qolby ia telah katakan Ayahnya telah berpulang ke Rahmatullah? Jadi bingung!
Ah, sudahlah orang Arab bilang, “FATA MA FATA”, yang lalu biarlah berlalu.
~~~
Sementara mengikuti pelajaran teori berdebat yang dibareng game-game di kelas Ibni Qolby, aku dipanggil oleh Bunda Mala.
“Syifa, katanya tadi ada orang yang kau beri uang?”
“Iya Bunda!, itu loh yang pernah datang kesini!”, jelasku.
“Dia bilang apa?”
Lalu mengalir lagi cerita tentang apa yang kulakukan tadi.
“Bunda kok, kurang percaya sama orang itu? Dia pernah datang kesini, cari kak Uci’. Sambil terus menepuk dadanya, ia bilang saya dokter, saya seorang dokter. Berulang-ulang kali. Ah, tidak mungkin seorang dokter sampai harus segitu pengakuannya. Waktu itu mau pinjam kamera, mau dia pake buat acara wisudawan. Untungnya saat itu kak Uci’nya tidak ada! Jadi, berapa uang yang kau beri padanya?”
“Seratus lima puluh ribu, bunda!”
“Masya Allah, Syifa! Semoga ia tidak berniat buruk!”
“Bagaimana ngga’ ngasih Bunda, dia sampai nangis-nangis meski ngga’ pake air mata! Kasihan!!”
Adik-adik yang sedari tadi mengerumuni kami berdua ada yang berkata,
“Ih, kak Syifa ketipu!”
“Jangan bilang gitu dulu dong! Kan belum tentu juga?”, tegur Nuken.
Akhirnya aku baru bisa menangkap jawaban dari sejuta rasa aneh yang tadi menjaring jiwaku.
Ya Allah..
~~~
Memang tidak semua orang menggantung niat yang baik di akal pikirnya. Bukankah hal itu yang telah kupancangkan kuat di hatiku?. Aku tidak sedih kehilangan uang itu, setelah merenungi sejenak mungkin memang sudah rezeki orang itu. Buktinya siang tadi di M’Tos aku hampir memakainya untuk beli sandal, sudah cocok dengan modelnya hanya aku butuh ukuran yang lebih kecil,
“Ada ukuran lima, mbak?” tanyaku pada mbak penjaga toko.
“Ada! Tunggu yah?”
Tapi setelah ia bongkar-bongkir, utak-atik, ternyata...
“Aduh, maaf mbak! Tidak ada ukuran lima!”
“Ya udah, ngga’ papa deh!”
Selanjutnya,hampir lagi aku pakai beli tas. Namun kuurungkan niatku.
Mungkin memang bukan untukku. Tapi kuyakin Allah akan gantikan dengan yang lebih baik dan lebih berkah. Semoga aku menjadi korban terkhir darinya, tiada lagi orang lain. Allah, bangunkan ia dari lelapnya kebingungan menjalani hidup hingga harus melakukan ini. Ampunkan ia... tunjuki ia jalan yang lurus... Amin..

Inilah yang kami tunggu!
~~~
Hujan telah mereda, kutatap langit. Aku tak kecewa, sebab kuyakin pelangi dijiwaku selalu memijar warnanya...

Rabu, 26 Mei 2010

Hilang...

"Aku bagaikan daun kering yang diterbangkan angin...
Hilang..."

Ia kabarkan keadaan dirinya melalui risalah yang ia kirim. Sebelumnya telah ia minta beberapa motivasi. Kubaca, lamat-lamat.. Ah, ku setengah tak mengerti hal itu benar-benar ia rasakan. Ia yang selalu bersemangat dan kuat dimataku.
Kembali kutengok diri, sepertinya mungkin sedikit keliru bila meminta agar kuberi solusi. Sebab beberapa masa yang lalu aku pernah merasakannya bahkan ia pun pernah membantuku.
Merasa diri terjatuh dan lemah, lalu sulit mencari tempat menopang untuk bangkit karena penyebab jatuh dan lemahnya belum ditemukan. Padahal sebenarnya tak perlu jauh-jauh mencari titik pangkal, karena ia ada dalam diri.
Apakah semua manusia pernah rasakan yang sama ya Robb? Apakah semua mesti merasakannya?

Sejenak dalam pikirku semua jaringannya sedang bekerja, mencari rentetan kata yang tepat untuk memberinya jawaban. Satu jawaban inti, "Nurani"! Seperti yang pernah dikatakan saudaraku,
"Abaikan semua kata akal pikirmu, renungi! Dan dengarkan kata nuranimu! Betapa Allah sangat mencintaimu!"
Ternyata itulah saat yang tepat memuhasabahi diri, menelisik kemajuan apa yang telah tercapai, dan kemunduran apa yang telah terjadi. Memperbaiki niat, menata mimpi, dan menghitung diri untuk mewujudkannya..

Subhanallah, Allah beri rasa jenuh dan terjatuh (ataupun seperti yang ia katakan "Hilang di kehidupan") sebagai ruang yang baik tuk menginstrospeksi diri. Semoga tak lama ia di kubangan lumpur menyesakkan itu. Namun pun kutak ingin ia kembali seperti dulu, tapi harus lebih baik dari sebelumnya!
"Siapa yang sama keadaannya dengan kemarin maka sungguh, ia sedang rugi. Jika ia lebih buruk, maka ia kan celaka!"

Bersama kita berusaha menjadikan diri semakin baik.. Insya Allah! Tidak ada yang akan bertanggung jawab atas diri kecuali kita sendiri!

Selasa, 25 Mei 2010

Luka di Hati dan Lengannya

24 Mei 2010 sekitar pukul 16:00
Selepas menengok Ibu seorang sahabat di Rumah Sakit Ibnu Sina,
:Sampai beliau tak mengenalku, kecelakaan itu membuat memorynya terganggu. "Hilang memoryku, nak!", begitu keluhnya padaku. Akupun sama, sampai tak mengenal beliau, kepalanya habis operasi. Semoga Allah gugurkan dosa-dosanya atas musibah ini. Amin..:
Setelah itu beranjak ke terminal, menjemput Dinda yang ngambek dan hendak pulang.. Hehe.. Lucu!
Akhirnya mendarat di Ibnu Qolby, bertemu adik-adik yang semakin semangat saja, tapi kali ini mereka gelisah. Kenapa? Jawabannya adalah, sebab tidak lama lagi festival nasyidnya berlangsung, padahal memilih lagu saja mereka masih bingung. Meminta saya untuk melatih? Tidak salah nih?:-D
Kucoba mengintip ke ruang kelas Ibnu Qolby, mataku menangkap sosok Wahyu disana.
"Wahyuu..", sapaku seperti biasa.
Namun jawabnya kini berbeda, senyum dikulumnya bercampur sedih yang menjalar di seluruh raganya. Ia menunduk. Dulu selalu ceria membalas sapaanku. Wahyu seorang remaja yang kuat terlihat dari fisiknya, tapi siapa sangka ia begitu rapuh? Ia mudah melukai dirinya, kau tak lihat bekas puntung rokok yang ia matikan apinya di lengan, (ah, aku tak tahu bagaimana membahasakannya) begitu banyak. Seperti bekas cacar, atau kain dengan corak polkadot. Lengan kiri dan kanan, sama saja!
Kali ini kulihat ia beku, ia bersandar di dinding, lemah sekali. Sampai kemudian yang adik-adik kecil (Alim, Mail, Adit, Ami', dkk) membisikkan sesuatu padaku.
"Berdarah tangannya Wahyu ka'!"
Setengah tak percaya, mulutku pun yang setengah terbuka. Kulihat Wahyu terkesima. Kudekati ia yang terus menunduk. Kuperhatikan kedua lengannya. Masya Allah!
Dia melakukannya lagi, bukan dengan rokok seperti biasa. Darah segar setengah mengering di lengan kiri. Ia lukai dirinya, sebelumnya kuberpikir dengan silet. Kutarik tangannya setengah memaksa, sebab ia tak suka lukanya kuamati.
"Apa ini Wahyu?", suaraku meninggi, semoga tidak diartikannya sebagai bentakan.
"Tidak ji, kak!" jawabnya dengan penuh kecewa.
Kutanyai apa sebabnya, problema keluargakah, temankah, atau keuangannya? Sebenarnya sudah mulai menjawab, namun kutahu ada malu yang menyergapi dadanya. Andai saja ia wanita kuyakin sedari tadi air mata telah membanjir. Kutawarkan sesuatu,
"Kak Syifa bersihkan yah, tunggu disini jangan kemana-mana!", untungnya langit sdang menjatuhkan gerimis kecil, membuat ia malas pergi dari Ibnu Qolby.
Ya Allah, anak ini mengapa begitu mudah melakukan tindakan bodoh melukai dirinya. Lengan itu ia seperti dicincangnya dengan beling. Lukanya bergaris vertikal banyak. Menurutnya luka di hati akan sembuh dengan menambah luka di fisiknya? Oh, tidak adikku!!! Yang ada malah lukamu bertambah-tambah!
"Saya lebih memilih dipukuli daripada harus begini kak!, biar sekalian mati saja agar berakhir semua problema!"
"Hah? Menurutmu, mati bisa menyelesaikan segalanya? Tidak adikku! Berceritalah katakan masalahmu"
Ya Robby, sulit kupahami akankah cobaan yang Engkau beri padanya begitu beratnya ataukah ia yang tak tahu cara yang benar menyelesaikanya? Robby.. Tuhanku.. Kumohon beri ia kekuatan dan kelapangan dada bersama titik ujian yang Kau jatuhkan di jiwanya. Amin..

Minggu, 23 Mei 2010

Pura-pura

Tidak semua pura-pura menyenangkan
Ada yang menyiksa diri dengan merasa sungkan
Padahal sebenarnya melegakan
Ah, mengajarkan kemunafikan pada diri sendiri
Hingga nanti tak mampu mandiri
Lalu kapan menjadi dewasa
Bila belajar tidak dijadikan biasa?
Dari tanggung jawab terus menerus mengelak
Akan jadi apa kelak?

Berpura-pura...
Sejatinya mengundang lara
Dengan topeng sebagai kendali
Menutupi wajah asli
Padahal cepat atau lambat akan tetap dikenali

Begitu banyak yang berpura-pura
Layaknya memainkan lakon dalam sandiwara
Menipu orang lewat lisan, lewat tulisan
Mengajari orang pesan-pesan
Membuat mereka jadi terkesan

Begitu banyak alasan
Padahal akhirnya kenangan buruk tertulis di nisan

Pura-pura gambaran hati yang keruh
Gembira dalam riuh
Bahagia saat kisruh
Berkulit sahabat, berhati musuh
Memandang rumah-rumah kumuh
Milik Si Miskin dan Si Buruh
Dengan hati penuh angkuh
Uh, tunggu saja sampai ia jenuh
Sampai berpeluh-peluh
Sampai lelah mengayuh
Sampai tak mampu berjalan, lumpuh

Begitu banyak yang berpura-pura bagus
Dilantik dengan pidato yang mulus
Dengan kata-kata halus
Berkoar-koar takkan berkasus
Pada kesejahteraan akan berfokus
Korupsi harus segera digerus
Hingga saat sang waktu berjalan terus
Ia berubah menjadi tikus
Janji-janji dibiarkan hangus
Cerita indah rayuan gombal, semuanya diabaikan pupus
Lalu ditutupi dengan begitu banyak rumus
Dengan dalih berbagai jurus
Hingga ujungnya semua memintanya mampus

Tak butuh lagi kami engkau sok puitis
Yang hanya mampu ciptakan tangis
Dibalik tembok menatap sinis
Tak usah berpura-pura manis
Badai telah menghantam, tak usah kau tambahkan gerimis
Atau memang bahagia jika saksikan kami meringis?
Dasar manusia berhati Iblis
Tunggu nanti, kubunuh kau dengan keris
Berakhir sudah kisah yang cukup miris!

Jumat, 21 Mei 2010

21 Tahun Sudah!

Andai saja Ka'b bin Malik tahu ganjaran berupa kembalinya ia tanpa dosa seperti sejak dilahirkan ibunya dengan mengemukakan alasan sebenarnya tak ikut perang, apakah tak perlu ia merasakan derita yang amat sangat menyakitkan? Apakah tak perlu tersiksa oleh pengucilan Rasul dan para sahabat? tak perlu resah akan salam yang tak terjawab karena ada hasil besar menunggu dihadapan? Pun tak perlu menjauh menyendiri di bukit sebab pengampunan dosa menanti? Tapi, seorang Ka'b meski tahu itu akan ia terima tentu tak wajar bila ia bahagia dengan ketidakpedulian orang-orang yang dicintainya. Bahkan istri tercinta diminta untuk menjauhi sampai jawaban dari Ilahi ada untuknya.
Dari seorang Ka'b saya belajar tentang kejujuran.. Tentang bisikan nurani yang didengarkan dan diikuti hingga menyelamatkan bahkan melegakan. Ka'b telah menuruti rengekan nuraninya untuk mengakui..
Lalu bagaimana aku? Akankah masih terdengar bisikan dari kebeningan nurani yang letaknya di hati?
Masihkah hati menyerukan suaranya? Masihkah ia berani menegur saatku tersalah?
Aku kembali menanyakan hati yang telah bekerja selama 21 tahun ini. Entah, aku tak merasakan ia suci dari noktah hitam dosa yang membelenggu tapi tak ingin pun mengakui ia penuh lumpur sebab itu artinya cahayanya meredup, meski mungkin itulah keadaannya. Oh, andai saja semua orang kini diminta menghadap Ilahi Robby sambil membawa hati masing-masing, aku tak ingin bergegas sebab kumalu menenteng hati yang keruh dan mungkin telah menumpul. Pun tak ingin seperti Ka'b yang menunda-nunda hingga tak ikut bersama yang lain.
Hati ibarat gumpalan besi yang masih utuh. Dosa kemudian awalnya hanya bagai api yang memanaskannya hingga merah menyala. Lalu ketika dosa-dosa terus berlaku oleh raga, ia kemudian menjelma menjadi palu yang menempa.
Kutengok hatiku di dermaganya, kutak yakin apa masih berbentuk seperti mulanya ataukah telah menipis oleh dosa hingga nanti mudah terpatahkan dan rusaklah sang hati. Naudzubillah..
Duhai Robby... di tengah malam sunyi yang hanya diwarnai nyanyian makhlukmu, kuberharap mampu mendengar bisikan nurani. Menghitung diri dibertambahnya umur. 21 sudah aku menetapi bumi-Mu namun aku telah lakukan apa? Dan kurangkai lagi tanya, hendak kulakukan apa di sisa umur ke depan?
Mimpi-mimpiku terus bertambah di catatan depositnya, tapi bagaimana aku wujudkan dalam nyata? Kerja-kerja apa tubuhku telah bergerak?
Duh, Robby ampunkan khilaf yang selalu ada ini.. Kumenunduk dengan tangan bertangkup di wajah, malu akan diri (sangat). Kesempatan dihadapan kumohon beri aku kekuatan agar mampu mengisinya dengan banyak berbuat manfaat. Semakin mencintai-Mu, semakin dekat dengan-Mu, dan cintaku pada apapun di dunia menjadi sederhana. Izinkan aku menunaikan tugas meraih segala mimpi karena-Mu.. Berjuang di kehidupan untuk-Mu! Sebab kupercaya pada janji-Mu!
Amin Ya Robbal 'Alamin...

Kamis, 20 Mei 2010

Benci karena Allah!

Benci, keberadaannya di hati oleh satu dari dua alasan. Benci yang tumbuhnya karena ditanam oleh syetan atau benci yang bermula dari niat suci karena Ilahi. Benci memang tak suka. Tapi kita lihat disana di ujung lorong hati, ketidaksukaan itu berawal dari mana? Apakah dari suksesnya syetan merayu atau dari hati nurani yang Allah datangkan melalui bisikan?
Aku berdiri dalam ruang benci dihati, pintu-pintu yang terbuka kepada siapa sajakah?
Ada pintu yang berterali besi, kuat dan kokoh. Tak mudah dihancurkan. Kuputar kunci yang melekat, dan kubuka perlahan-lahan. Kutengok, namun tak ada yang jelas hingga tak mampu kukenali siapa. Kabut tebal mengurangi jarak pandang. Kabut yang tak biasa, ianya hanya menutupi wajah. Riuh: tangis, umpatan, tawa sinis, rayuan gombal hingga erangan kesakitan memenuhi ruangan. Aku benar-benar tak suka. Antara amarah menyatu dengan kesedihan mendorong tumpukan mutiara yang kemudian terjatuh menjuntai di pipiku. Ada anak-anak yang dipukuli ayahanda, bunda yang mulutnya penuh umpatan, hingga rayuan gombal mereka caranya yang salah "mencari" uang. Aku tak peduli wajah, yang aku miriskan adalah sikap yang seharusnya tak begitu. Mungkin inilah benci karena Allah.. Membenci bukan pada orangnya tapi pada keburukan yang ada padanya.
Semoga! (sebab tempatku memandang tak sama dengan kalian..)
Masih ada pintu yang lain, tapi kutak yakin atas dasar pondasi apa pintu itu dibuat. Iman dihati, masih ringan begitu. Hingga angin kecil mudah menerjangnya, mempermainkannya di udara. Lalu lama masanya tuk terjatuh lagi ke tanah. Ukhuwah, tolong jangan buatku pesimis sendiri. Sebab diam tempatku menarik simpul amarah, kutahu tak akan terus menguat ikatannya. Suatu saat ada masa dimana ia terurai. Talinya yang memanjang akan membuatku terjatuh karena terinjak saat berjalan. Oh, betapa sangat kutakutkan itu terjadi!
Benci karena Allah, mengapa bukan karena itu semua pintu-pintu itu ada.
Syetan yang pandai menggoda atau memang karena kelemahan diri. Keduanya seperti benar menjadi alasan.
Maka ku ingin kembali, seperti dulu.
Saat kubaru mengenal dunia ini. Ketika azam melebur bersama semangat. Belajar mencintai karena Allah, belajar membenci pun karena Allah... Insya Allah!

Selasa, 18 Mei 2010

Buah Hikmah Kehidupan

Wajah yang panas berpijar karena marah, kusaksikan dari tangga tempatku merapat.
Tak ada balasan dari tampang manis yang kuperlihatkan. Walau sekedar sepotong sapa.
Matahari dan bulan telah bertukar tempat berkali-kali.
Gelap dan terang bumi berulang kali telah menyempurnakan hari.
Ibu jari esok akan menegak menyusul empat jari yang lain, sebagai bilangan hari ia meliputi dirinya dengan kecewa bercampur kesal.
Ah, sakit sekali kelihatannya.
Hm.. Ia hanya belum menjinjitkan kaki agar sampai tangannya menggapai buah hikmah di pohon kehidupan. Atau barangkali masih kurang menelisik, dibawah buahnya banyak telah berjatuhan. Cukup merunduk sedikit, memunguti!
Perhatikan ranumnya, pahami makna dan nikmati rasanya!
Bangunan yang runtuh, bisa kita dirikan kembali. Di lumpur hidup sesal, jangan banyak bergerak! Sebab engkau akan semakin tenggelam. Tenang, ulurkan tanganmu. Kayu yang kuat telah kami sodorkan sejak kemarin. Jangan tunggu waktu menjadi lama. Raihlah kayu itu dan kami akan menarikmu!

Pernah pula kurasakan yang sama, namun kurenungi. Akhirnya kutemukan sesuatu, menyimpulkan rumus anti marah dari ke-sok tahuan-ku (tepatnya mungkin sok bijaksana), kukatakan pada diriku sendiri:
"Colly... Ketika engkau sedang marah pada seseorang, tanamkan dalam hatimu bahwa ia hanya sedang tak tahu dengan perasaan yang timbul dari kelakuannya terhadapmu. Kalau ia sudah tahu, dan tak lakukan apa-apa (walau sekedar minta maaf) tanamkan lagi bahwa ia hanya sedang tak mengerti. Maka cobalah untuk memberinya pengertian dengan cara yang baik. Bilapun engkau telah memberinya penjelasan sedang ia masih tak mau mengerti, maka kokohkanlah lagi hatimu bahwa keadaan seseorang di mata orang lain hanya akan menimbulkan dua sebab. Dimengerti atau tidak dimengerti. Sedangkan ia, saat ini berada dalam ruang ketidak mengertian. Tidak semua orang memang akan mengerti keadaan kita. Maka teruslah berharap bahwa ia suatu saat akan meninggalkan ketidak mengertiannya. Tak perlu mendoakan agar kelak sesal menjalari hatinya, mintalah agar ia dilapangkan dadanya."

Aku berani menjaminkan diri. Bila suatu hari di masa yang akan datang (bila umur masih dipinjamkan-Nya) dan ia belum juga menemukan ganti yang lebih baik dari apa yang ia tolak kemarin, maka tak mengapa bila aku terpecat sebagai saudarinya!
Semoga ia hanya sedang menunggu. Menanti reaksi dari obat yang telah diminum. Mungkin memang lama, tapi kuharap kesembuhan besar menjemput dihadapan.
Ada yang Allah sembunyikan darimu!
Yakinlah bahwa Ia tiada pernah akan kecewakanmu!

Pohon di Hati


Di hati yang kusut
Ada pohon yang berlumut
Berdahan kemelut

Tempat biasa bertengger sang Perkutut

Entah apa yang membuatnya salut

Hingga sepotong kisahnya tersangkut
Padahal kelabu hariku oleh kabut

Dan akupun sebenarnya tak menyambut

Telah kuberi pilihan untuk dirinya tercabut

Tapi tetap ia tak ciut

Menginginkan kisah berlanjut
Agar memanjang kain yang dirajut

Meski kini berbeda sepakat kami diucap mulut

Tapi sejauh mana usaha, ia takkan berkisut
Apalagi terjatuh dan orang memungut

Walau suasana hati carut marut

Ia katakan takkan menyurut

Disini pohon masih kuurut

Menyianginya dari rerumput

Sapa tahu masa depan berikut

Aku masih atau telah luput

Namun walau berlalu, kisahnya kan tetap tersebut

Kecuali bila sang Maut

Telah tiba waktunya datang menjemput...

Minggu, 16 Mei 2010

Menunggumu di Padang Resah

Masih di padang resah , menunggu jawaban dari bibir yang terbungkam
kalau engkau tak mau bicara padaku setidaknya tak usah bercerita pada yang lain
Sebab masalah didatangkan Allah dihadapan mata dengan jaminan kita mampu menuntaskannya
Bila memang perlu bagimu bercerita, ungkapkanlah pada yang tak asing

Kucabut tunas su'uzhan yang tumbuh pesat di pohon hatiku
Sementara Syethan bergantian menaburkan pupuk dan menyiraminya
Ah.. Lepaskan dirimu dari jerat yang menjerumuskan itu!
Tak perlu rumus apalagi jurus, cukup mulai tuk keluarkan kata dari bibirmu menyapaku
Karena ku pun malu bila mencoba berkata sekedar mencairkan yang beku namun diacuhkan
Tidakkah kau merasa sesak dadamu menarik nafas lalu menghembuskan deru nafas yang memanas?
Kau tak menjawab pertanyaanku!
Pun tak kau tanggapi panggilanku!
Lalu bagaimana harusnya raga ini berlaku dalam gerak?
Diam?
Bagiku tak masalah saudara!
Bila itu yang kau mau tuk membuatmu nyaman, akan kulakukan!
Tapi, berapa lama waktu kau butuhkan?
Tidak mungkin selamanya!

"Kau diam, tanpa kata. Kau seolah jenuh padaku. Kuingin kau bicara katakan saja apa salahku. Sungguh aku tak mengerti. Apa yang telah terjadi. Dan kutak ingin engkau pergi jauh dari hidupku. Kau takkan pernah sadari, betapa kumencintaimu. Kau yang selalu aku banggakan.. Kau takkan pernah mengerti, betapa kumenyayangimu. Kau yang selalu aku inginkan. Kuingin kau bicara. Katakan saja apa maumu. Lihat aku, coba kau mengerti. Ini semua bisa teratasi, resah bila kita lakukan"
lagu D'MASIV ini sepertinya pas tuk menggambarkan suasana dalam hati.

Di padang resah aku tak sendiri. Bila kau menjauh, aku masih disini menunggumu kembali mendekat. Aku tak mau mengejar, aku letih...

Setengah Hari dibawah Fly Over

At lake UNHAS
Anak-anak KCAY (Komunitas Cinta Anak Yatim), melangkah menjauh satu-satu dari sekolah alam, kembali pulang ke rumah. Memandang mereka pergi dengan senyum. Ah, selesai juga tugasku hari ini.
Jam 11, mungkin masih bisa curi waktu mengunjungi saudaraku.
At Pondok SOFA (Soppeng Family)
Ternyata dia masih kuat dalam ingatannya lagu itu, lagu yang ia dendangkan bersama petikan alunan gitar. "Wa-asro bihi Robbi minal hijiri laylatan.. Minal masjidil Aqsho liru'yatil hannan.."
Dan.. Hey, putaran jarum pendek waktu hampir mendekati angka 12, aku harus segera beranjak. Baksos Ibnu Qolby, ba'da Dzuhur akan dimulai. Pete-pete melaju, seperti biasa aku melempar pandangan ke pinggir jalan. Pelebaran jalan tepat di samping kantor PLN Tello, ah masa' selokan itu ditutup juga? Air hujan akan mengalir kemana nanti? Minta banjir?
(itu cuma pertanyaan dan pernyataan batinku)
Depan kuburan Panaikang, pete-pete berhenti. Anak-anak itu, sedih rasaku melihatnya masih saja menengadahkan tangan kepada para peziarah. Namun, ketika ku terlihat dari retina matanya serentak mendekat sambil memanggil namaku. Ketika kutanyai "apa yang kalian lakukan disana?"
"Tidakji ka! Liat orang dikubur!" dalihnya
Kutahu ini juga bukan semata maumu, bukan pula sepenuhnya ingin orang tua, tapi tuntutan ekonomi. Tapi menyalahkan keadaan tentu tidak logis, sebab ia tak bernyawa. Ada paradigma yang mesti kita rubah, ada semangat yang mesti kita bangun, ada banyak hal menunggu untuk kita melakukannya.. Oh, dunia mesti beginikah keadaanmu?
At Ibnu Qolby
Kulihat Inna masih begitu sibuk untuk spanduk karton baksos kami, ada Pely yang membantunya. Separuh baru saja selesai dikerjakannya. "Tidak ada yang bantu ka!" keluhnya.
"Teman-teman yang lain mana?"
"Lagi sholat Dzuhur ka!"
"Sini biar kubantu!"
-BAKSOS IBNU QOLBY
Buka Mata, Buka Hati
MARI BERBAGI-
telah tertulis rapi di atas karton putih.
Dering smsku berbunyi, teman disana telah menunggu dari tadi. Katanya dia sudah kelaparan, oh kasihan. Akhirnya diputuskan aku dan beberapa adik berangkat duluan, kak Uchy dan her sisters nyusul belakangan. Dengan berjalan kaki kususuri jalan Panaikang menuju Fly Over. Letih? So pasti! Tapi kubuang semua ke kali samping Universitas 45. Kutarik ujung bibir, mengajak diri mengobrol dan bercerita tentang kehidupan.
Setiba di TKP, ada pengarahan sedikit. Lalu seorang ibu penjual koran kami ajak bercerita tentang Baksos yang akan kami lakukan, sang ibu setuju, korannya kami ambil sebagian. Hm.. Siap beraksi. Kuambil satu. Awalnya sedikit canggung, apalagi adik-adik.
"Ka' Syifa nervous nih!"
"kok deg-degan begini kak! Gemeteran!"
He3x, sebenarnya grogi juga tapi dikit, tapi mesti jadi contoh nih. "Ayo dong, kenapa mesti malu? Coba lihat ade-ade yang kecil-kecil itu? Mereka berani! Emangnya kita melakukan sesuatu yang salah? Tidak bukan?"
Pasang senyum, "Pak, koran Bu! Beli korannya? Orang pintar baca koran loh, bu!"
"Hey, jangan ngomong gitu dong! Kesannya maksa gitu!" protes seorang teman.
"Lha iya, kalo pintar ya baca koran. Emangnya orang pintar ukurannya sekedar minum jamu tolak angin doang? He3x:-D" jawabku santai, mungkin tak didengarnya apa yang terucap. Tapi tak mengapa.
Lampu merah, kesempatan emas. Ayo maju!
Kalopun tak dibeli setidaknya ada sedekah dari senyum yang tersungging. Ada yang menolak halus, kasar, tapi ada pula yang cuek bebek. He3x kaku amat pak!
Kesana kemari, menawarkan, sedikit memaksa, dan bercanda akhirnya alhamdulilah gak sia-sia juga, tiga jam tiga koran yang laku. Maklum langsung praktek tidak belajar dulu. Kurang pengalaman.
Yang paling lucu Si Faldy, sampai frustasi karena blum ada satupun yang laku begitupun Inna.. Lucu melihat tingkah mereka berdua.
15:30, shalat asar jama'ah di masjid Pasca Sarjana UMI.
Dan aku hanya berdiri di depan pagarnya mengamati orang-orang pintar lalu lalang keluar masuk. Semoga kudapat mengikuti jejaknya. Amin..
Hari ini pelajaran berharga banyak kudapat. Dari susahnya cari duit, dari berbagi cinta, dari sosok Jumiati, Fadia, Beno, Muthiah, Ikki, anak kecil penjual koran itu..
Robby... Innal hamda lak!

Jumat, 14 Mei 2010

Pertikaian yang Membosankanku!

Dari rombeng kain iman yang kusadari rapuhnya
Kutahu ini sebab dari lemahnya jalinan ukhuwah
Atau mungkin musabab lain adalah harapan yang jauh dari gapaian tangan karena terlalu tinggi dahan tempat ia digantungkan
Mencintai tak perlu kata berlebihan, pun tak perlu pula menyimpannya terlalu puncak di tingkatan hati

" Wa'asa_ an takrahu_ syay-an wahuwa khairun lakum, wa 'asa_ an tuhibbu_ syay-an wahuwa syarrun lakum wallahu ya'lamu wa antum la_ ta'lamun"
Maka boleh jadi, engkau tiada menyenangi sesuatu padahal ada kebaikan baginya untukmu, dan boleh jadipun engkau begitu menyukai sesuatu, padahal tiada kebaikan darinya untukmu. Sungguh, Allah tahu, dan engkau tiada mengetahui

Cukuplah firman-Nya membuat kita menyadari akan cinta yang sederhana. Tidak terlalu berharap karena tidak semua yang kita inginkan: ia pahami dan bisa ia wujudkan
Karena sesama manusia: dosa, khilaf dan lupa melumuri tubuh sari pati tanah ini

- Kau katakan aku telah menorehkan luka di permukaan hatimu, hingga perihnya menderaskan hujan air mata di pipimu. Lalu ketika kutanyakan "apakah yang telah aku lakukan?", kau suruh aku mencarinya sendiri. Aku tidak mungkin bertanya bila telah kutemukan jawabnya! Telah menumpuk kekesalan di jiwa. Waktu pun telah jenuh menyaksikan pertikaian dimasing-masing batin kita. Sikapmu yang mengajariku begini. Tapi kulapangkan, sebab emosi kutahu datangnya dari makhluk terlaknat. Kutarik nafasku, kutuliskan permohonan maaf dan sedikit menepuk dada "Bersama kita perbaiki diri" Kau jawab dengan dalih nasib. Kita tidak mungkin terus mengutuki nasib, merubahnya bisa kita lakukan. Maka karena kuingin perubahan diri, kutanyakan kekurangan... Namun apa daya bila tiada jawaban. Sebab diam pun tak menyelesaikan masalah -
(Akan terus beginikah yang kau inginkan?)

Cinta yang sederhana. Cinta yang bergumulnya di hati, sedang hati adalah Qalbu, tabiatnya berganti, berbolak-balik bak halaman buku
Cinta hari ini, kutakutkan menjelma kebencian di esok hari, benci yang kita tahtakan di hati siapa sangka lusa menampilkan dirinya sebagai cinta
Bukankah hati ini bukan kita yang punya?

-Maka jangan heran bila acuh kupoles tebal diwajahku, mengabaikanmu yang terus menyesali takdir. Bangkitlah saudariku, maafkan caraku mengajarimu dianggap kasar. Terus menangis? Itu maumu? Tolong jangan ajari aku setega ini! Melihatmu terluka juga bukan mauku!-

Iman, adakah engkau semakin bertambah?
Memperbaikimu harus kulakukan. Sebab itulah solusinya, semoga!

Rabu, 12 Mei 2010

Gerbong Terakhir..

Seperti menemukanku tiga tahun lalu di terowongan kereta kelam
Aku yang penuh luka bahkan sebagiannya telah bernanah
Merintih sendiri menyaksikan gerbong-gerbong kereta berlarian melintasi rel-rel tua
Dan jilbab kusamku melambai diterbangkan deru angin sisa laju kereta
Aku disaksikan berjuta mata yang duduk disamping jendela kaca yang sebagiannya telah pecah
Mungkin mereka terbersit sedikit iba, atau mungkin banyak yang biasa, acuh dan abai.. (Berenang dalam gelombang pikir masing-masing)
Aku menenggelamkan wajah didekapan lutut,
Hingga diujung kereta..
Gerbong terakhir!!
Ia berhenti tepat dihadapanku, pintunya terbuka, cahaya cepat merambat menyinariku membuatku tersilau tak mampu menatap jelas
Kuperhatikan seksama, di jendela yang memanjang begitu banyak mata menatapku tersenyum,
Bibir yang mengajak serta tangan yang melambai berayun kedepan, memintaku segera naik
Gerbong sederhana namun bersahaja
tak ada kelas ekonomi, apalagi bisnis
Semua duduk berdampingan tanpa beda
Ramah dan santun gaya bicaranya
Lalu kucoba mengikuti, memahami alur gerbong kemana menuju
Ternyata jelas arah kedepan, tertata langkah yang kan ditempuh, serta lengkap bekal di lumbung penyimpanan
Awalnya kukira salah diriku memilih, banyak kawan yang katakan ini tak tepat
Hingga aku dihantam amukan ragu.. Oh, aku tak tahu apa-apa (saat itu!) yang kulakukan adalah terus mengikuti arus mengalir
Persoalan demi soal, terjawab satu-satu
Luka-lukaku mengering bahkan ada yang telah sembuh
Suasana gerbong begitu hangat tuk mengobatiku
Kulahap obat, kuperkuat diri, dan kususun waktu yang akan kuisi dengan ibadah
Menikmatinya, sungguh!
Walau sering pula gejala penyakit menyerang, jatuh lagi
Sebab ada luka besar yang masih dirawat
Kuterus perbaiki diri, menjahit yang robek, menambal yang berlubang, dan menyulam indah yang biasa agar lebih elok di mata-Nya
Kadang rapuh sebab kupaksa diri penuhi tuntutan target
Padahal itu salah, (itu yang kupelajari hari ini!) Ekonomis!
(Yah, Al-iqtishad fi Ath-tho_ah)
Yang terpenting alirannya tak terhenti, bila batu besar dihadapan menghalangi, berbeloklah! Temukan celah!
Aku pun mulai belajar menarik banyak yang lain, kududukkan mereka di tempat dudukku. Aku yang berdiri bergelantungan, tak mengapa!

Sampai aku berani menegur, "Bukan begitu cara menyapu yang benar!"
(Saat kulihat sapu ditangannya diayun memutar, teman segerbong dan secita)
Debu akan kembali menempel di lantai yang telah kau sapu!
Pelan-pelan, sebab semua punya fase saudaraku!
Lakukan dengan tenang, bukankah keinginan kita sama-sama melihatnya bersih?
Bedanya, engkau yang menyapu dan aku yang mengepelnya!

Di gerbong ini kami banyak berada, saling menguatkan cita hingga nanti kereta api kami tiba di stasiun, muara segala mimpi, bertemu dengan-Nya!
Amin..

Senin, 10 Mei 2010

Dewasa!

Sebab dewasa tidak selalu diukur dari umur. Tua adalah sebuah kemestian bila usia bertambah, sedang dewasa tidak semua termiliki oleh mereka yang telah lama di dunia. Tua tak perlu kau kejar, waktu tak pernah mau dipaksa untuk berputar dengan cepat. Namun dewasa adalah hewan buruan yang mesti kau dapatkan dengan susah payah dan tanpa kenal lelah.
Bukan merasa diri dewasa, ukuran pandang kita pasti berbeda tentang dewasa. "Bila cinta sudah direkayasa, anak kecil disulapnya dewasa", begitulah Camelia Malik dalam lagunya menggambarkan kedewasaan anak ingusan. Tapi tentu bukan itu paradigma kita tentang dewasa.
Menggapai kedewasaan bagiku adalah proses yang berlangsung seumur hidup. Dewasa adalah bijak. Nanti bila nyawa telah terlepas dari raga, lihat dan tariklah tali simpulnya "Ia dewasa atau tidak?".
Karna hidup ini sekolah sejati. Kita memang tak perlu duduk manis di bangku kelas. Sebab ruang tempat kita bernafas dan bergerak setiap hari, itulah sejatinya bangku. Tempat engkau memperhatikan pelajaran dan berpikir untuk menyelesaikan soal-soal dan latihan kehidupan.
Tak perlu mengajak guru untuk masuk kelas dan sibuk menerangkan mata pelajaran. Sebab masalah demi masalah yang menjelmakan pengalaman adalah guru terbaik yang kemudian mendidik kita bijak menata kehidupan.
Tak perlu sibuk dengan berbagai mata pelajaran, pelajaran ini dan pelajaran itu. Karena alam telah memetakan roster yang baik untuk kau jalani. Alam tahu kapan engkau harus belajar ini dan kapan harus belajar itu. Maka bila pernah merasa dihadapkan dengan sesuatu yang berat, pahamilah! Alam sedang memberimu pelajaran baru dan ingin tahu apakah kamu mampu tuk menjawab dan mengerjakannya.
Allah yang mengatur alam ini sungguh Maha Tahu sampai mana letak mampunya kita. Maka tidaklah mungkin akan Ia perintahkan alam untuk memberi pelajaran diluar bisanya kita.
Dewasa (Bijak) adalah prestasi tertinggi di sekolah kehidupan bagi mereka yang mampu keluar dengan nilai terbaik. Menuntaskan ujian demi ujian, latihan demi latihan dan soal demi soal dengan nilai yang semakin membaik.
Karena kita adalah pembelajar sejati di sekolah kehidupan, maka tugas kita adalah membuat dan membantu alam untuk mempercepat dan mendorong kita menggapai kedewasaan itu..

(Sekedar menumpahkan apa yang menggeliat di pikiranku tentang dewasa, perenungan panjang sebelum beranjak ke 21 tahun)

Menjelang 21, Umurku!



Entah, waktu seperti memburu nafas, hingga kadang membuat dada sesak. Waktu adalah jawaban setiap tanya, "Jam berapa?". Walau begitu kita tiada pernah tersadar, gelombang kehidupan telah membuat kita melupakannya. Sementara hujan dan panas hari tak mengenal putaran waktu. Pagi-siang, sore-malam, mereka datang mewarnai hari. Sedang manusia kebanyakan lisannya hanya penuh keluhan. Putaran kipas angin seakan tak cukup mendinginkan suasana, hujan yang datang tiba-tiba selalu dianggap pengacau, yang menghalangi aktifitas, dan merusak rencana. Dan ni'mat yang tiba-tiba mengapa jarang disyukuri?
Ah, bulan mei kini tiba dihadapanku. Perlahan-lahan memutar harinya hingga nanti pada tanggal 22 (bila Allah takdirkanku ada di hari itu) jatah umur kembali berkurang.
21 tahun!!
(Telah dewasakah aku?)
Robby... duhai Engkau yang memberiku kesempatan tuntunlah diriku menuju-Mu. Lelah, rasaku menjalani ini. Letih, inginku pergi membuangnya jauh-jauh..
Kuingin menjemput cita, namun ragu kukatakan pada yang tercinta. Seharusnya mungkin tak kubiarkan ragu menyergapi agar kumantap langkahkan kaki.
Di hari-hari menjelang 21, kurenungkan kembali diagram hidupku, peta yang pernah kugambarkan, dimana aku kini berada? Sepertinya aku harus mengubah haluannya. Langkah mesti kupercepat. Sebab 21 tahun tak lagi muda..
Mimpi akan segera kuraih! Insya Allah!

(Jauh sebelum 22 mei, telah kuterima hadiah (kuanggap begitu, meski masih jauh hari menjelang) dari seorang sahabat yang mengajarkanku arti keberanian, jazakumullah! Smoga Allah balaskan dengan rezeki yang lapang dan berkah.. Amin..)

Note: Semalam dinda Rani cantik sekali, kulihat tak lagi ada marah dan kecewa yang menggurati wajahnya yang ceria.. Semoga memang begitu adanya! Uhibbuki fillah!

Jumat, 07 Mei 2010

Dont Go Anywhere!


Tidak perlu pasang tampang menyesal dihadapanku!
Menurutmu aku masih akan beri sedikit rasa kasihan?
Maaf nona!
Tak ada lagi!!
Benci bukan alasanku, sebab tak mungkin membiarkanmu tenggelam ke sumur dosa!
Belajar di kehidupan, waktu kadang perlu kita dorong untuk mempercepat proses pencapaian tujuan.. Itu dulu! (saat ku memilih caraku, saat kulakukan sesuatu yang mungkin sangat menyakitkanmu) Tapi saat ini aku lebih memilih membuatnya mengalir. Agar waktu memberi jawabannya sendiri. Yang bisa kupastikan jawabnya: "Sesal!"
Bila kau tak menemukannya di ujung lorong waktu yang kau jalani saat ini (dengan meninggalkan kami), maka akulah nanti yang akan didekap sesal hingga nafas terputus.

Sudah saatnya kau untuk belajar! Matamu, buka tuk lihat dunia begitu luas adikku!
Telingamu, beri ia kesempatan bahwa masih banyak suara yang perlu engkau dengar!
Hatimu, lapangkan ia tuk bisa terbangkan semua sedih dan lara!

Percayalah, pergi bukan solusi terbaik! Kita sama berenang di laut juang ini. Tenggelam bahkan tak ada dalam kamus kita. Saling merangkul, menarik, menyemangati, bahkan bila engkau memilih tuk berhenti sejenak mengumpulkan kekuatan dan mengendorkan lelah, kami tak akan meninggalkanmu! Kita bersama terapung, berpegangan.. Dan Kami akan tetap menunggumu!
(Kau tak rasakan sakit hati kami kau tinggalkan, tetes air mata yang terjatuh di ujung jari, kecewa yang menggunung, dan perih yang mesti kami tiup terus menerus tuk mengurangi rasanya)
Mau kemana kamu?
Akan lari kemana?
Tetaplah disini!!
Jangan kemana-mana!!
Dinda...

Kamis, 06 Mei 2010

The Answer : Silent!




Tidak semua pernyataan membutuhkan kata sebagai bantahan. Pun tidak semua pertanyaan mesti kita jawab dengan lisan yang mengeluarkan kata. Kadang diam sudah cukup menjadi jawaban sekaligus komentar dari diri kita. Sebab boleh jadi jawaban yang terlontar adalah olahan kasar dari hati yang bercampur dengan sedikit (mungkin banyak!) emosi, berlumur egois, dan membawa sebilah pisau.
Hingga perih tak mampu terelakkan dan luka mungkin parah akibatnya. Alasan yang tak masuk akal baiknya tak usah menjadi tameng dengan maksud membela diri, padahal bisa jadi justru memperparah keadaan. Diamlah, dan pikirkan sejenak apa yang harus engkau katakan untuk melegakannya dan bagaimana menjawabnya!
Akuilah bila memang kau salah, jujurlah dan katakan apa adanya. Jujur tidak semua akan menjatuhkan. Bisa jadi kejujuran kita mengajarkan ia arti tawakkal. "Bersiap menerima apa yang terjadi."
namun bila diam adalah hal terbaik yang bisa dilakukan, maka diamlah. Dengarkan ia menumpahkan segala kecewa dihatinya, sampai habis, sampai kosong!
Biarkan dia tak meninggalkan sakit sedikitpun. Hingga ia merasa puas katakan semua yang ia rasa.
Lalu setelah itu, mintalah waktu tuk mengemukakan alasan kita. Katakan apa yang ada di pihak hati.
Hidup hanya begini!
Jujur-bohong, bicara atau diam, tangis ataupun tawa adalah pilihan begitu pula dengan derita! Dan hak kita untuk memilih!

Minggu, 02 Mei 2010

Persinggahan



Di perjalanan, aku berhenti
kuperbaiki kembali letak ransel di punggung
bukan maksud tuk beristirahat
sekedar merenungi arti langkah-langkah kaki
dari niat tempatku memulai, hingga cita dan mimpi tempatku memuarakan juang

bila kemudian di catatan akhir diri,
kutemukan sesuatu yang jiwaku ada disana
bukankah tak salah bila kumemilih mengganti haluan?
-agar aku sejiwa
-agar aku tenang menjalaninya
-agar aku menikmatinya

kumenunduk, meminta jawab-Mu tuk mantapkan hati
duhai Rabbi, yang mengatur segalanya menjadi indah
yang telah menuliskan jalan hidupku
mudahkan bila ini Engkau ridhoi...

Kutak ingin kehilangan harap!!!

Dipersinggahan ini kutundukkan kepala dalam-dalam
memohon dan meminta

lalu, izinkan ruang kecil hatiku bertanya pada-Mu
"arah yang harus kutempuh ke depan mesti berbelok ataukah lurus??"

( kumohon beri aku jawab-Mu! )

Sabtu, 01 Mei 2010

Bahagianya Memahami dan Dipahami

Tafahum.. Saling memahami.
Bukan meminta untuk terus dipahami, bukan pula untuk terus menerus memahami orang lain hingga merasa tak perlu mengingatkannya atas kelalaian yang ia perbuat. "Memahami" sama sekali tidak boleh menjadi alasan membiarkan saudara tenggelam dalam kemaksiatan. Namun memahami kekurangan saudara dan sahabat untuk kita perbaiki, untuk kita ingatkan dan untuk kita jadikan ladang dakwah serta pelajaran bagi diri kita sendiri.
Memahami kelebihan yang ia miliki untuk kita jadikan pelengkap bagi diri dan membantunya mengoptimalkan kebaikan, agar kelak mampu memberikan banyak manfaat bagi sesama manusia. Memahami cita dan harapannya, mendoakan dan mendukung untuk meraihnya. Meski mungkin ia harus pergi menjauhi kita.
Memahami, mengajarkan kita arti pengorbanan. Mengikhlaskan ia pergi menemukan yang ia cari, menemukan bahagianya dan menggapai semua asanya.
Memahami adalah pelajaran penting kehidupan yang tidak boleh kita tinggalkan.
Sebab bagi kita, memahami adalah proses kehidupan yang ia mampu ciptakan bahagia dan meminimalisir sakit hati. Tapi tetap saja, "memahami" timbul tunasnya di ladang hati yang senantiasa dibersihkan dari ilalang liar penyakit.
Kekuatan ukhuwah yang terbangun dari tafahum sangat bergantung pada iman di jiwa.
Iman yang kuat akan mengokohkan ukhuwah.
Tafahum.. Saling memahami. Sama-sama memahami..
Bukankah sudah saatnya untuk kita tidak lagi memenuhi ruang-ruang pikir yang ada di otak kita dengan hal-hal sepele, gesekan-gesekan, dan luka-luka kecil akibat ketidakcocokan?
Marilah mencoba memahamkan, tabayun, saling menjelaskan agar ketidak saling pahaman terkikis.
Saatnya ruang pikir otak kita diisi oleh pikiran-pikiran dan ide-ide besar.. Berpikir harus lakukan apa dan bagaimana menggapai semua mimpi!


(Tak perlu menghalanginya pergi, pahamilah bahwa ia pergi untuk meraih mimpi.. Tak perlu bersedih dan gundah gulana seperti itu, mana ceriamu? Mana bahagiamu? Tersenyum dan optimislah! Faidza 'azamta fatawakkal 'alallah! :-D )