Jumat, 25 Juni 2010

Cerita Pilkada-ku











DALAM PERJALANAN PULANG...
Dua hari menjelang Pilkada di daerahku, mama dan papa meminta pulang untuk ikut berpartisipasi menggunakan hak pilihku. Menunaikan tugas sebagai warga negara yang baik, dengan mengikuti aturan pemerintah, “ ‘Athi_ullaha, wa ‘athi_urrasul wa ulil amri minkum “ Taatlah kepada Allah, peda rasul-Nya dan kepada para pemimpinmu! Taat kepada ulil amri tentu saja bila mereka masih di rel-Nya, bila telah melengser walau sedikit maka tugas kitalah untuk mengingatkan. Jadi ingat kisah sahabat mulia Khalifah III ‘Umar bin al-Khatthab Radhiyallahu ‘anhu saat beliau dalam khutbahnya meminta diingatkan bila sedang khilaf. Maka sambil mangangkat pedangnya, pemuda itu berteriak
“ Akan kuluruskan engkau dengan pedang ini! ” dihadapan warga yang lain, dihadapan Khalifah, dan di tengah-tengah khutbah. Namun apa jawab sang Khalifah?
“ Ya, dengan pedang itu! “ Subhanallah...
Hari rabu tanggal 22 juni, aku bergegas meninggalkan asrama, baru saja shalat ashar. Terminal yang sangat jauh, apakah masih menyisakan untukku barang satu mobil saja untuk kutumpangi pulang? Sesampai di terminal,
“ Kemana dek? “ seorang lelaki menghampiri, sepertinya tak asing dalam pandang dan dalam ingatan.
“ Soppeng pak! Batu-batu! “ oh, iya! Dia seorang sopir Soppeng juga! Ha, aku ingat!
“ Oh, La Tali masih ada di dalam, kaya’nya belum berangkat! Langsung saja masuk, di sebelah kiri terminal, semuanya mobil Soppeng. La Tali ada di bawah pohon! Cepat! “
“ Makasih, pak! “ ujarku.
La Tali, seorang sopir yang dulu pernah aku tumpangi pulang saat bulan Ramadhan menjelang. Segera kubayar karcis masuk. Buru-buru kuayunkan langkah, takut ketinggalan mobil tapi, o’ow...
“ Hei! Hei! Lewat sana! “ sebuah suara, kuberbalik. Ah, ternyata masih sopir yang tadi. Baik banget, ternyata masih membuntutiku! Menunjukkanku arah yang tepat. Aku hanya membalas senyum ungkapan terima kasih banyak atas kebaikannya!
Di ujung sana, tepat di bawah pohon dua mobil panther masih parkir. Kuhampiri seseorang, dengan sok tahu atas memori yang lupa-lupa ingat atau ingat-ingat lupa, ini mungkin yang namanya La Tali,
“ Mauki masuk? Mobil Soppeng toh? Batu-batu? “ tanyaku memeberondongnya.
“ Iya, tapi sudah full dek! “
“ Yah...! “ aku langsung lemas.
“ Naik mobilnya Onding saja! Itu! “ ia menunjuk mobil di sampingnya.
Tak lama kulihat ia meminta sopir yang bernama Onding itu untuk mengikutkanku pulang di mobilnya. Dari jauh sorot mata dan tampangnya, aku bisa membaca ia tak bisa menampungku.
“ Sebenarnya bisa, hanya saja aku carteran! Sudah dibooking sama orang lain! “ kata Onding.
“ Oh,begitu! Begini saja akan kucoba tawarkan pada adikku, memang dia tidak sampai Batu-batu, tapi hanya menitipmu, nanti di Pekkae baru mangambilmu! “ segera ia berlari kearah seorang sopir yang tadi diakuinya sebagai adik. Ah, baik semua sopir-sopir ini.
“ Wah, sudah penuh juga!” katanya dengan kecewa, saat kembali. Oh, nasibku! “ Onding, ambil saja! Penumpangmu tidak banyak bukan? Telfon saja mereka, katakan engkau mengambil satu penumpang lagi! “ pinta La Tali.
“ Baiklah! Tapi aku pulang nanti agak maghrib dek! “ kata Onding yang membuatku lega, tapi saja terselip sepotong kecil remah kekhawatiran, sebab aku bakal diselipkan pula diantara penumpang lain. Ah, apa jadinya aku nanti? Gepeng? Melempem? Oh, no!!!
“ Daripada engga’ pulang! Ya toh? “ ujar La Tali, aku hanya tersenyum.
Sekarang masih pukul 16:30, masih cukup lama. aku menunggu hingga tiada terasa adzan maghrib telah berkumandang. Masjid Darul Musafir, kutunaikan kewajibanku menghadap Ilahi, berdoa semoga perjalananku di amankan-Nya dari segala kesulitan. Berdoa banyak-banyak, bukankah doa musafir itu mustajab?
Setelah maghrib, kuhampiri mobil yang tadi akan kutumpangi pulang, namun sang sopir tak ada di tempat. Kuedarkan pandangan, oh dia disana, sedang bercakap dengan sopir yang lain. Aku mendekat,
“ Naik mobilnya yang ini saja dek! Saya masih agak lama disini! “ kata Onding, seorang sopir ditunjukkannya padaku. Duh, kenapa mesti dioper-oper begini? Yah, nasib panumpang mobil orang! Nanti aku akan punya mobil sendiri biar ngga’ dilempar-lempar... Amin!
Tapi, hei aku menemukan siapa? Pung Gama dan his family! My neighbour! Aku duduk di belakang bersama Pung Gama’s wife dan dua bocahnya: Andi Uli’ dan Andi Riyan. Penumpang yang lain, sebuah keluarga dan dua orang pemuda, yang satu tampangnya biasa kulihat, tapi dimana yah? Gurat-gurat wajahnya berkelabat di memoriku. Yang pastinya dia sekampungku. Dan yang lainnya seorang remaja yang dari tampangnya bisa kutebak dia masih SMA atau paling tidak baru saja masuk kuliah. Harus tahu teman seperjalanan, iya kan?
Dan mobil pun melaju meninggalkan kota Makassar dengan segala kepenatannya. Aku tertidur saat mobil singah di warung makan. Ah, aku tak berminat! Tadi sebelum berangkat perutku telah terisi semangkuk bakso. Tapi apa yang terjadi? Pang Gama, tetanggaku yang baik itu memaksaku untuk masuk! Itu artinya aku akan ditraktirnya. Hehe Selain berat tapi memang aku kenyang kok! Beliau memaksa dengan mengatas namakan Ayah “ Apa nanti kata pung bapakmu? “ yeah, akupun masuk!
Di dalam warung keluarga yang satunya tadi pun duduk di satu meja.
“ Siapa itu? “ tanya mereka kepada Pung Gama.
“ Anaknya Pung Gegge! “ jawab Pung Gama.
“ Oh, kesini nak!” Ajak mereka, memintaku pindah meja dan bergabung dengan mereka. Hm.. siapa yah?
Sekembalinya kami ke mobil, ibu dari keluarga tadi menegurku,
“ Hheh, nda’ kenal kamikah? Nanti kumarahi Pung mama’mu, masa’ tidak kenal kami? “
Aku hanya bisa senyam-senyum, mau apa kalau aku memang ngga’ kenal? Setelah mobil kembali melaju, ingin kukurim risalah kepada papa, melaporkan kejadian tadi. Tapi tentu saja aku terkaget saat sebelumnya bertanya dulu ke istrinya Pung Gama,
“ Memangnya, ibu ini siapa pung? ”
“ Keluarga di jok depan ini kepala desa Panincong! “
Wuah, gubrak!! Ternyata beliau nenekku! Pantesan aja marah-marah karena tak kukenali. Maaf pung, aku memang ngga begitu banyak kenal keluarga besar. Anaknya yang perempuan sempat ditegurnya,
“ Kenalan tuh dengan ponakanmu! ”
Akhirnya sampai Soppeng juga, karena kampungku lebih dekat maka akupun turun lebih dulu. Dan, sang sopir menolak sewa mobilku, kenapa? Karena nenekku itu telah membayarkannya! Alhamdulillah, rezeki memang ngga’ kemana. 
LIKA –LIKU PILKADA
Papa sejak kedatanganku belum pernah nampak batang hidungnya, kata mama beliau nginap di kantor. Sampai nginap di kantor gara-gara pilkada? Pukul sembilan pagi, papa baru pulang. Aku dan mama masih bercengkrama, mama punya banyak cerita menarik about pilkada. Mulai dari penentangan banyak orang dengan pilihan papa, sampai permusuhan dan ketidak sukaan mereka. Mama mengaku dizholimi. Hehe.. mama lebay deh! Perbedaan pilihan ternyata telah berhasil memecah belah ukhuwah. Rapuh sekali! Seorang tetangga bahkan menjauh sembari mengucapkan kata-kata yang sangat tidak pantas menurutku. Dan itu pula yang membuat mama sakit hati. Pilihan tak selalu sama bukan? Pilkada juga ujian ternyata! Tapi tentu saja bukan kesalahan pilkada, sebab pilkada bukan benda hidup, tapi para pelakon pilkada: anggota KPU, para calon bupati dan calon wakil bupati, dan semua anggota masyarakat. Baik-buruknya, bagus-tidaknya, aman-rusuhnya pilkada tergantung bagaimana pelakon menjalankan tugasnya dengan baik.
Jumlah jilbab mama bertambah, darimana asalnya? Yah, dari calon bupati! Buku-buku dzikir mama juga makin banyak? Siapa yang ngasih? Kata mama beliau rajin ikut acara dzikir bersama beberapa calon bupati. Lucu sekali, mengapa rajin berdzikirnya saat pilkada saja? Ah, kalau begitu pilkada sering-sering aja! Hehe..  Ada juga tas, disana terpampang nama salah satu calon bupati. Semua berlomba-lomba menjelma menjadi dermawan saat pilkada menjelang! Memang sepertinya KPU tidak hanya harus mengadakan pilkada sekali lima tahun! Kalau perlu tiap tahun pak! 
“ Ini rezeki! “ kata mama.
Pukul 10:00, aku, papa dan mama berjalan beriringan ke TPS. Mestinya adikku yang lelaki ikut bersama kami, hanya saja dia ada praktek, maklum calon perawat! Adik perempuanku tentu saja belum ikut, usianya belum mencapai usia wajib pilih. Sudah sangat ramai suasana di TPS. Saking semangatnya, papa sampai jadi salah masuk di pintu keluar TPS, ah papa malu-maluin aja! Mama menyerahkan kartu pemilih, berururut nama papa disebut, nama mama dan namaku. Kamipun masuk ke bilik. Bismillah... semoga yang terpilih dapat amanah menjalankan tugasnya.
Setelah itu kami bergabung dengan para ibu pahlawan dapur! Di samping TPS banyak ibu-ibu yang berbagi tugas memasak untuk para pemilih dan petugas TPS. Dan suasana pilkada tak mampu manghangatkan suasana, perbedaan dukungan calon bupati membuat hati para ibu-ibu ini renggang walau tentu saja masih terbingkai senyum. Canda tawa saling menyinggung membuatku memilih untuk menyepi. Adzan zhuhur, mama kuajak pulang.
Dua jam kemudian mama mengajak kembali ke TPS, ingin menyaksikan penghitungan suara. Ah, mama semangat sekali kelihatannya. Sesampai di TPS, ternyata penghitungan suara telah dimulai dari tadi, melihat papan suara, mama jadi lemas setelah garis-garis jumlah pasangan calon bupati lain lebih banyak dari pasangan dukungannya. Tapi masih tetap saja dalam diamnya... penghitungan berlangsung aman, tidak ada teriakan sumbang atau apapun. Setelah selesai, hasilnya tetap saja pasangan calon yang mama dukung kalah suara. Mama berbisik,
“ Ah, kan masih di TPS ini? Di TPS lain nomor **** pasti menang! “ (‘afwan nomor disamarkan untuk keamanan! )
Maka ramailah orang-orang lalu lalang, berkunjung dari satu TPS ke TPS yang lain, layaknya pegawai LSI (Lembaga Survei Indonesia) mencatat-catat, menghitung-hitung.. berkumpul sesama pendukung dan mencocok-cocokkan. Lebih sibuk dari anggota TPS.. hehe 
Mama masih terus bergurau dengan ibu-ibu yang lain,
“ ngga’ usah khawatir! Tenang! “
Di penghujung senja, kuterima sms dari seorang teman yang kerja di lembaga survei hasil pilkada siang tadi,
“Asmo : 39,57% : 50.459 suara
Akar : 31,25% : 39.856 suara
ATM : 0,47% : 604 suara
SAUDARATA : 7,26% : 9.718 suara
HIBAH : 1,86% : 2.372 suara
AS SALAM : 5, 07% : 6.459 suara
SULAPA : 14,11% : 18.022 ”
Sms yang kemudian jadi rujukan papa. Ah, pilkada sebentar saja telah menjadi bagian sejarah perjalanan kehidupanku. Pilkada telah sukses berlangsung sebagaimana suksesnya syetan yang berhasil mengurai ikatan ukhuwah antar masyarakat. Pilkada telah berlalu, mari kembali merapatkan rangkulan, menghapus ketegangan yang pernah ada, sunggingkan senyum untuk keberhasilan kita semua telah memilih bupati untuk daerah kita tercinta..
Untuk bupati dan wakil bupati terpilih, jangan lupakan janji! Al-Wa’du daynun, janji adalah hutang! Amanah telah kammi letakkan di pundakmu, jangan dikhianati apalagi diabaikan... kami di belakang mengikut perintahmu demi wujudkan kehidupan sejahtera! Berjuanglah, kami mendukung dan mendoakanmu!
KEMBALI KE MAKASSAR!
Ba’da maghrib, aku harus kembali lagi. Kuliah menantiku esok. Pamitan dengan mama, papa, nenek dan tetangga-tetangga memohon doa dari mereka, apalagi ujian telah mendekat.
“Usalaisi paimeng tana ancajingekku,
utiwi bokong sumange pole ri duae pajajiakku...
tennapodo ulesu matti tiwi paddisengeng nenniya adecengeng... Amin..
indokku... ambokku... acenning atitta tuli uporennuang!
Aja’ to pettu rennu marellau ri Puanngnge natipu magatti minasae.. ”
Dengan lambaian tangan aku berlalu..
Di kota Watan Soppeng aroma Pilkada masih tercium tajam. Mobil yang aku tumpangi bahkan tak bisa melewati depan rumah salah satu calon bupati, padahal beliau tidak terpilih, maka mobil yang kutumpangi terpaksa mengambil jalan lain. Anehnya, didepan rumah pasangan terpilih mobil kami masih bisa lewat dengan bebas, meski memang sangat ramai oleh para pendukungnya yang memberi selamat atas kemenangannya...
Selamat untuk bapak yang terpilih, dan untuk yang belum terpilih yang sabar yah pak!  Hehe..


belum sempat kuposting setelah kemudian kudengar kabar kericuhan di Soppeng, kantor KPU dan kantor kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng dibakar! Inna Lillahi!

Indonesia Tak Membutuhkanmu!

Kau merasa hebat telah melakukan ini?
Kau sulut api, lalu pergi...
Kau lemparkan cemoohan tanda ketidakpuasan, kemudian lari bersembunyi di ketiak "ia" yang punya kuasa dan uang?
Heh!!
Alangkah "cemen"nya dirimu!
Kau lakukan semua apa maumu, sebab letupan emosi yang berakar pada kecewa pada pilihan yang tak terpilih?
Mana kebijaksanaanmu sebagai manusia?

Menurutmu semua akan selesai dengan membakar dan menghancurkan kantor-kantor milik negara itu?
Memasang perangkap untuk diri sendiri!!
Merusak tak selamanya mampu menyelesaikan persoalan kawan!

Lihatlah apa yang telah engkau lakukan?
Menabur ketakutan di sela-sela jiwa manusia!
Bukti ketidak arifanmu!
Tidak semua yang kita inginkan terwujud kawan!
Belajarlah mengelus dada, menerima kekalahan!
Indonesia butuh pemberontak yang membangun bukan penghancur!
Indonesia butuh pemberontak yang memperbaiki bukan merusak!



"Untuk yang membakar dan merusak kantor KPU dan Kantor Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng, "ENGKAULAH MANUSIA TERCEMEN UNTUK SAAT INI!" tabe', maaf!"

Sabtu, 19 Juni 2010

Dia dan Sebuah Ungkapan

Siapapun yang datang kemudian pergi dan menghilang, adalah bagian dari isi album kehidupan. Ada yang menitipkan fotonya untuk dikenang. Bersama sejenak, hanya tuk mengukir sedikit kenangan. Ia beri mereka apa yang hendak dilakukan. Ada yang masih menikmati pemotretan, ada yang ingin kembali melihat fotonya, atau memperbaiki model yang mungkin baginya sudah kuno, atau bahkan ingin menarik diri bersama kenangan yang telah ia beri, foto diambilnya dan halaman itu dibiarkan kosong.

Tetap saja cukup baginya ruang sunyi. Tempat ia bisa hidup, dan merasakan kehidupan. Menemukan si ide dan insprasi, yang muncul tenggelam dari pelangi yang ia gantungkan di langit-langit jiwanya.. seorang teman selalu bertanya padanya di tangga, “Mengapa selalu menyepi?”. Dijawabnya dengan sepotong senyuman. Begitulah...

Tak ada yang mampu menebak ia. Dibiarkannya orang memberi pandangan sendiri. Riak air yang bergerak perlahan memantulkan wajah yang samar, kadang terlihat bahagia padahal hakikatnya sedih adalah tema ukiran hati, merenung saat ia paham kekurangan dirinya. Memilih menarik tali amarah dan menyimpulkannya kuat-kuat dalam katupan bibir, diam.. Atau yang paling sering ia katakan pada dirinya “Apapun dihadapan, semuanya lucu. Tersenyumlah, jangan ngakak. Sudah cukup beberapa yang mengambil kesimpulan bahwa engkau tidak waras!”. Hadapi dengan tenang..

Sebuah bencana terakhir saat senja adalah keinginannya untuk pergi. Saat tak menemukan diri di ruang kecil waktu bertanya. Tapi hendak kemana tanpa melihat langit? Biru langit menjadi batas jarak pandang, dimana kaki berpijak dongakkan kepalamu ke atas dan bohong jika kau tak melihatnya. Entah masihkah ia berbaju biru ataukah telah merubah diri, mencekam bumi dengan hitamnya. Sedang di tempat ia kini berada, yang diberi adalah ilmu langit.

Kini berteman pena, walau kadang malam terasa begitu singkat. Tak pernah cukup memberi masa untuknya mengasah pena. Masih tetap tumpul seperti dulu. Tapi kertas maupun layar selalu saja bersedia menampung jejak pena yang tertinggal. Terima kasih untukmu...

Hidup selalu memberi pilihan untuk bahagia, begitu kata seorang teman. Maka biarkan ia dengan jalan yang ditempuhnya. Bila terlihat kesalahan muncul di permukaan, berilah peringatan dalam nasehat cinta. Dan sebelum itu engkau lakukan, terima kasih dihaturkannya sepenuh hati... :-D

Sang Guru

Melihat sosoknya dari kejauhan, ia masih seperti dulu, gagah dan teduh. Ia yang telah Allah utus untuk membuka mataku akan dunia. Membangunkanku dari tidur panjang yang melenakan. Ia yang selalu kubanggakan, dengan segala ilmu yang ia miliki, dengan segala kebijaksanaannya, kasih sayangnya, kerasnya, begitu pula segala kekurangannya sebagai manusia biasa pun sebagai tanda ketidak sempurnaannya.
Ia dengan caranya sendiri, membimbing kami dari gelapnya ruang dosa dan kebodohan lalu menunjukkan jalan cahaya. Meski tidak semua mata melihat indah gerak-geriknya. Ia sadar mungkin berlebihan tapi kami lalu bisa dibuatnya berubah dan senang bila diajarnya.
Pernah aku diuji, sesuatu yang Allah beri cobaan yang mungkin sulit dalam pandangan orang lain, yang aku sendiri saat itu hampir saja tak kuat. Peristiwa yang tiada kepada seorang pun telunjuk kesalahan bisa ditujukan. Hingga saat terpuruk dan memilih pergi, ia datang dengan segunung kebijakannya
“kau tak boleh pergi, sebab ini kesalahan kami sebagai pembina… “katanya. “bila ada yang harus disalahkan tentu kesalahan ada di pihak kami. Tapi kau tak boleh pergi. Akan ada kesia-siaan, akan ada begitu banyak kerugian dan kemudharatan. Tetaplah disini! Tak usah takut apalagi pergi, kami mendukungmu!”
Apa yang ia katakan sejujurnya membuatku kecewa namun sekaligus membuat semangatku kembali berkobar. Dengan segala sakit hati yang aku terima, sungguh aku ingin segera beranjak dari pondok, meninggalkan semua yang telah torehkan luka dihatiku. Namun ia telah menyemangatiku disaat tak ada yang peduli. Dia telah menarikku dari kubangan lumpur hitam air mata pilu.
Dengan tekad dan semangat darinya, kumulai menata ulang diri. Sekedar tuk buktikan bahwa apa dan bagaimana orang memandangku saat peristiwa menyakitkan itu terjadi, merupakan salah besar. Tawarannya padaku untuk menghapalkan ayat-ayat cinta ilahi kuterima tanpa pertimbangan panjang. Aku makin serius dalam belajar. Hingga mimpi tuk menjadi yang terdepan akhirnya mampu kuraih.
Dengan begitu besar cinta yang ia miliki untuk anak-anak didiknya “Para Penuntut Ilmu” begitu kami sering disebutnya. Tapi, jalan juang memang tak selalu mulus, jalan terjal pasti ada, duri dan kerikil sudah jadi kodratnya menyertai perjalanan. Apa yang ia terapkan sebagai metode pengajaran dianggap buruk oleh sebagian orang. Memang mungkin sebab, disinilah cara pandang orang mampu kita pahami ketidak samaannya. Ia terlalu keras, katanya. Padahal itulah yang membuat kami akhirnya mampu berubah dan menemukan jalan. Ia kemudian ditegur. Ia sadar dengan apa yang telah dilakukannya. Tapi, di sisi yang lain inilah yang kami harapakan sebagai murid yang dididiknya. Kau tahu apa yang ia lakukan selanjutnya? Oh, sungguh rasanya kami tidak beradab saat itu. Ia seorang guru yang telah banyak menurunkan ilmunya, membimbing kami dengan tak pandang waktu, mencuri waktu untuk keluarganya sekedar untuk membimbing kami, dengan pintu rumahnya yang senantiasa terbuka lebar untuk kami. Kini datang dengan pipi yang dialiri anak sungai air mata sambil menyalami kami satu-satu dengan mulut yang terus meminta maaf.
ah, ustadz… kamilah yang seharusnya datang meminta maaf padamu…
tak perlu mendengar semua yang terucap oleh lisan mereka, sebab yang ada di pikirannya adalah kurangnnya pemahaman. Yang mereka tahu adalah sedikit dari apa yang telah kita sepakati bersama dalam proses belajar kita. Sakit hati, bagaimana cara menyembuhkannya?
Engkau pinta kami tuk menuliskan apa yang mengusik hati tentangmu. Dan di empat tahun telah berlalu kini, kau katakan masih tersimpan rapi tulisan-tulisan itu. Selalu kau baca saat butuh hitungan diri. Bijaksana! Satu kata yang mewakili diirimu dihatiku.
Kuminta pada-Nya tuk membalaskan semua kebaikan yang telah engkau beri. Sebab ku tak tahu apa yang bisa kuberi tuk membayar segalanya... karena memang tiada yang akan sebanding dengan semua itu! Jazakumullah biahsanil jaza_!
Untuk seorang ustadz yang telah mengajar dengan hati!,
Abu Auliyaa al-Husnaa
Muridmu, yang selalu merindukan kembali masa-masa belajar dulu!

Selasa, 15 Juni 2010

Siapa Bilang Hidup Ini Indah?

“Jadi pinjam tidak?”
“Nda’ jadi! Kan katanya ada teman yang mau pinjam?”
“Yeh, paling dia Cuma bercanda! Cuma mau ngejek!”
“Nda’ usah! Dahulukan teman yang lain!!”
Apaan sih, udah dibilangin dia ngga’ mau pinjam! Ya udah!!

Sempat membuat temperatur emosi naik sedikit, tapi kembali kupake rumus “Self Talking”-ku yang amat ampuh untuk menyegarkan suasana hati..

“Colly, tidak semua yang kita inginkan itu jadi kenyataan! Engkau tidak punya hak untuk memaksa orang lain!”, Kembali kuatur nafas.. tarik dalam-dalam dan hembuskan pelan-pelan... Astagfirullah!

“Hidup ini indah, jangan dibuat susah!” lirik lagu itu terngiang-ngiang di kepalaku. “Ketika mimpimu yang begitu indah, tak pernah terwujud... ya sudahlah!” lagu Bondan Prakoso seperti terdengar nyaring di telingaku.

Hidup selalu memberi pilihan tuk bahagia. Anehnya, dengan mudah orang lain selalu bisa membuat kita gelisah, marah, jengkel, kesel, bete, dan sebagainya, dan sebagainya. Tapi kenapa kita sendiri sulit unutk mengubah suasana hati kita dari semua sesak itu? Padahal indah dunia selalu bisa menawarkan obatnya. Allah telah ciptakaan dunia untuk engkau nikmati, kau hirup sejuk udaranya, dan kau rasakan damainya kehidupan.

Sebentar saja.. hidup kita tidak lama, maka jangan jadikan ia semakin pendek dengan kesempitan hati. Semakin runyam dengan problema kecil yang seharusnya tidak perlu terlalu banyak menyita waktu, tenaga dan pikiran kita untuk memikirkannya.

Cobalah untuk menambahkan garis vertikal disetiap pikiran-pikiran yang bergaris datar dan pendek-pendek, mengubah negative thinking menjadi positive thinking. Sebab pikiran-pikiran negatif selalu berhasil melemahkan dan membuat kita terjatuh. Sementara pikiran positif selalu menjadi pahlawan sejati ditiap keberhasilan yang teraih oleh manusia. Andai saja Rasulullah sudah berpikir negatif duluan saat peperangan Badar dahulu, tentu tak pernah ada cerita penaklukan yang begitu hebatnya. Melihat tiadanya keseimbangan tentara kaum muslim dan kaum kafir. Tapi apa yang Rasul lakukan, beliau meminta kepada Allah dengan penuh harap, hingga tangisnya terseguk, hingga selendangnya terjatuh, higga sedikit “memaksa” pada Ilahi. “Ya Allah.. Ya Robby.. jika Engaku tak menangkan hamba-hamba-Mu pada hari ini.. Engkau tidak akan disembah lagi di muka bumi ini!” begitu sabdanya.

Ah, lalu mengapa harus menyulitka diri dengan perkara sepele?
Mengapa harus marah atas perilaku orang lain yang tidak sesuai harapan dan keinginan?
Mengapa harus kecewa bila tuntutan kita pada manusia tidak terkabulkan?
Toh, semuanya adalah ujian agar dinding hati kuat tak mudah goyah, tentu saja bila kita mampu menjalaninya dengan baik dan sabar!
Engkau tidak boleh lemah hanya karena orang lain mencemooh! Ia hanya kurang mengerti (atau munglin tidak), tapi ah, tidak ada urusan dengan hal itu. Bila kita telah melakukan kebenaran, kenapa mesti terpengaruh?
“Ya Udah, kalau ia tidak mau pinjam! Mungkin ia hanya tidak ngin merepotkanku! Aku tidak rugi bukan? Toh niatnya sudah sampai. Allah Maha Tahu apa yang tersembunyi di hati, sungguh perhitungannya tiada yang mampu meragukan! Semoga ia bisa mengerjakan tugasnya hari ini dengan baik! Amin...”
sekarang kita ulang pertanyaan yang kupilihmenjadi judul postinganku kali ini. Siapa bilang hidup ini indah?? saya!
anda berani menentang???

Minggu, 13 Juni 2010

Di Pengadilan Sunyi, Pasal "Kabura Maqtan"

"Kabura Maqtan" selalu jadi bahasan utama akhir-akhir ini. Antara mengeluh dan bersyukur : apakah keluhan selamanya menggambarkan ketidak syukuran? (tolong dijawab!)
Antara persaudaraan dan fitnah : apakah persaudaraan harus selalu sedarah? (sudah kutahu jawabannya, namun aku butuh jawabanmu untuk meneguhkanku!)
Antara harapan dan cemburu : apakah mesti ada kecewa ditiap harapan yang tidak terkabulkan? (jawabku : "kurang tahu!" dengan intonasi orang kebanyakan, sambil angkat bahu)
Antara tahu dan tempe? (lho, nyambung dimana?) sama-sama dari keledai, eh, kedelai!

"Kabura Maqtan", takut! Khawatir! Resah!
Antara harus memberi solusi kepada yang lain atas masalahnya (yang mungkin kalau aku yang mengalami, belum tentu bisa sekuat itu) atau tugas untuk menyampaikan kebenaran, bukan pula untuk sok tempenya (tahu!) Duh, Ilahi Robby... Aku tidak ingin menyesal engkau pilihkan jalan ini, namun kuatkan aku agar mampu menjalaninya. Sebab semua perasaan itu kini semakin mencekam, hampir menerkam di kelam malam.
Pengadilan sunyi muhasabah kembali menjadikanku sebagai tersangka. Pelaku dosa dan maksiat! Apakah istigfar masih cukup untuk mewakili permohonan maafku pada-Nya? Saat nasehat dan ego masih bertempur hebat didalam hati. Sedang cermin tempatku menatap selalu ditampakkan keburukannya oleh syaithon. Sok bijak, sok suci, sok pintar atau apalah! Nila setitik selalu mampu merusak susu segentong? Kenapa?
Yang pasti ngga ada hubungannya dengan tahu dan tempe! (berusaha menyelipkan tawa diantara derai air mata!)
"Kabura Maqtan" semoga cukup untuk mengingatkan!
"Kabura Maqtan" semoga tak perlu Allah tampakkan dengan satu janji perubahan diri yang hakekatnya memang selalu begitu.
"Kabura Maqtan" menjadi pangkal malu agar aku tak kembali terperosok di lubang yang sama (kebodohan besar!)
Allah betapa Maha Pengasihnya Engkau yang masih beri kesempatan..
"jangan pernah menyesal, bila penyesalanmu tak mengajarkan apa-apa" (masih ku ingat baik-baik pesan saudaraku itu)
Di pengadilan sunyi muhasabah kini, pasal-pasal "Kabura Maqtan" sedang menghantamku bertubi-tubi.. Robby bebaskan aku!
"YA_AYYUHALLADZI_NA A_MANU_ LIMA TAQU_LU_NA MA_ LA_ TAF'ALUN KABURA MAQTAN 'INDALLAH AN TAQU_LU_ MA_ LA_ TAF'ALUN"
Surah Ash Shaf: ayat 2-30

Agar selalu mensyukuri nikmat-Mu, walau hanya dengan tahu tempe! (nah, lho?) ALHAMDULILLAH!

Kamis, 10 Juni 2010

KDKK (Kejar Daku Kau Kutangkap!)

SIAPA YANG MENGEJARKU?

Ada sebuah hal yang terus membuntuti pikiranku belakangan ini. Terus-menerus mengawang-awang di langit-langit hati dan akalku. Sebelum tidur, saat kumenunggu kantuk menarik kelopak mataku untuk menyatu dan membawaku berkelana ke alam mimpi. Hingga terbangun dan ia pun segera menghampiri. Salah memang sudah jelas telah aku perbuat. Ini pula yang kemudian membuat jaksa penuntut seenaknya memberatkan tuntutan hukumanku. Namun sebelum hakim mengambil keputusan ku ingin membebaskan diri. Agar semua soal mampu aku jawab dengan baik, agar kudapat menemukan ketenangan hati dan kepuasan batin itu intinya! Bukan semata nilai yang bagus, apalagi sekedar pujian!

Perubahan sistem yang tiba-tiba, tentu saja membuatku sakit hati. Padahal andai saja tidak diubah, aku tentu bisa langsung menambahkan, cukup menyelesaikannya dan mengulang-ulang semua yang ada di “My Folder” agar semakin lancar. Tapi masalah tak akan selesai bila hanya terus menyalahkan perubahan sistem. (Sistem saja bisa seenaknya diubah-ubah, kenapa aku sulit mengubah mindsetku?)

Aku terus dikejarnya. Menghantuiku dimanapun dan kapanpun, saat belajar, saat melihatnya tergeletak, atau bahkan ketika mendengar ia disebut. Ih, duniaku berubah menjadi horor penuh kegelisahan. Keringat dingin telah sering menghampiri.

Hari demi hari, kuhitung waktu.. kalender kutatap lekat-lekat saat pagi menjelang. Oh, hei! Aku serasa tak merdeka padahal negeri ini sudah merdeka sejak lama sebelum aku dilahirkan. Janji-janji dalam diri selalu berulang, malu menertawakan diri sendiri. Saat janji kepada oarng lain dengan segera ingin dipenuhi sementara janji pada diri sendiri hanya selalu menjadi catatan yang belum pernah teralisasikan.

AKU HARUS MENANGKAPNYA! Tidak ingin terus dikejar, akan kutangkap dan kudekap erat-erat agar sesal tak banyak menempel di dinding hatiku. Huft..

SIAPA DIA?

Bukan benda hidup, namun mampu memberi petunjuk kehidupan.

Tidak bernafas, namun mampu mengobati nafas yang sesak oleh kehidupan dunia.

Bukan obat, namu mampu menyembuhkan hati-hati yang sakit.

Tiada pernah menyiksa orang lain, namun mampu membuat mata-mata mengalirkan anak sungainya di pipi.


SIAPAKAH?

My Holy Al-Qur’an!

Hapalanku yang tertinggal,

Masa yang tinggal sedikit (ujian akan segera tiba),

Dan kemampuan otakku yang sangat lemah dalam hapalan!

Oh, No!!!!

(aku mesti lakukan sesuatu, mengalihkan banyak waktuku untuknya, Insya Allah, aku pasti ditolong-Nya... Robb Yassirnsiy..)

Mencarimu...

Mentari berpijar beberapa masa saat ia berganti

Aku masih mengintai di balik awan mencari sesosok manusia hebat

Saudaraku, yang kubanggakan!

Kutebar jaring pandangku seluasnya

Namun hendak kemana lagi? Aku belum menangkapnya!

Waktu berlalu...

Lalu tiba-tiba awan kelabu menutupi pandanganku

Beratnya tergambar dalam pekat

Berton-ton air dalam muatannya kutahu akan segera tumpah

Baiklah, aku turun mengembara diantara tetesnya,

Sebab pada hujan tiada yang tahu sedih yang tertuang di air mata yang mengalir

Ia pasti sedang disana, di sebuah tempat

Menyiapkan diri menghadapi segala perih

^`’`’`’^

Hujan mereda, saat ini aku tak ingin menanti pelangi seperti biasa

aku mencari gumpalan asap yang menghalangi pandangan!

^`’`’`’^

Ada kesabaran yang memburu di setiap tarikan nafasnya. Ia tak cengeng tuk mengungkapkan semua yang dirasainya padaku, atau bahkan keluhan kecil. Sama sekali bagiku itu semua adalah barisan kata yang sekedar ingin mengungkapkan apa yang terlintas dalam hatinya. Meski aku lebih sering menaburkan kecewa, dengan tidak membalas risalah-risalah itu.

Seperti ketika vonis-vonis tak bertanggung jawab itu dilemparkan padamu. Kecewa yang mengiringinya kutahu bukan bentuk protesmu pada Ilahi, tapi sebuah tanda bahwa engkau punya rasa sedih tak mampu berbuat banyak lagi karena memenuhi tuntutan ini itu demi menjaga diri. Meski engkau tetap keras kepala untuk beberapa masa.

Saudaraku, Allah selalu sembunyikan hikmah besar. Bukankah kita sering saling mengingatkan itu? Hikmah bertaburan di jalan tempat kita langkahkan kaki. Dan betapa beruntungnya kita bila mampu memungut banyak untuk bekal ke dapan.

Allah beri ujian bahkan tanpa salam sedikitpun agar kita membuktikan diri, bahwa ia ridho dan tawakkal dengan apa yang ditakdirkan-Nya. Bila kini engkau disana di ruang sempit penuh aroma obat kimia, berjuang melawan perih, kutahu engkau kuat! Sangat kuat! Hilangkan segala resah yang membuatmu lemah. Buang jauh-jauh segala pikir yang membuatmu tersingkir ke pinggir sedih.

Doaku mengiringimu, dimana dan bagaimanapun keadaanmu. Semoga Allah gugurkan segala dosa bersama terhapusnya dosa.

Kutunggu hingga engkau kembali, dan di ujung hujan nanti kita bersama menunggu pelangi! Lagi!

Setelah lelah mencari, sore 7 juni 2010