Kamis, 27 Januari 2011

Ada...

ada kesempatan yang Allah tawarkan datang padaku, seperti catatan mimpi yang lama tersimpan begitu baik dalam anganku. Mimpi yang sejak kecil senantiasa terbayang, meskipun memang belum sepenuhnya seperti.
Lalu, apakah aku akan menolak? Oh, tidak mungkin!
Mencari celah-celah yang banyak bermunculan dihadapan, sangatlah rugi bila tidak diisi. Celah-celah yang merupakan kesempatan besar untuk belajar.
Tidak semua orang akan suka, memang!karena kita bukan anak kecil!
Namun tak semua orang juga membenci bukan? karena kita pun juga bukan orang gila.
Ada mata yang melirik dengan tatapan sinis, ada pula yang mendukung dalam doa.. yah begitulah, semoga benar-benar menjadi jalan kesuksesan..
Amin...
Sebelum tiba di ujung nyawa, semoga terizinkan raga ini tuk banyak berbuat kebaikan... kelak menjadi jalan keridhoan-Nya..
Amin...

Pelangi Silaturrahmi

Berburu waktu untuk menunaikan tugas yang sebenarnya bukan amanahku untuk menjalankannya, namun harapan padaku ditujukan, mungkin menurut mereka akulah yang bisa. Maka tak kusia-siakan harapan yang diberi. Adzan Ashar telah berkumandang, mesti bersiap diri. Setelah kewajiban tertunaikan, aku dan Unta Hitam siap melaju di bentangan jalan.
Saat jarak semakin dekat...
Ha! Bimbang menyergap! Ketika mengantar Fathimah pulang malam itu, kami masuk di lorong yang mana yah? Disini begitu banyak lorong yang menawarkan kebingungan.
Aha, mungkin yang ini! Sok tahu saja, bukannya aku malah suka tersesat di jalan yang benar? haha:-) Semoga inilah lorong yang tepat. Kuayun pelan Unta Hitamku... sepertinya memang tak salah. Kejauhan bayangan rumah Fathimah tampak di mata.
Hei, aku melihat Syafe'i, adik Fathimah sedang bermain,
"Mbak Fathimahnya ada Syafe'i?"
"Oh, ada Kak!"
Fathimah dan ibunya menyambut dengan senyum bahagia, lalu kemudian disambut ayahnya. Ramah sekali keluarga ini, batinku. Meskipun sebagai perantau mereka pasti sibuk sekali memenuhi nafkah keluarga, hidup di lingkungan asing tak membuat mereka canggung menerima tamu.
Sejak awal kedatanganku kutahu Fathimah pasti telah mampu membaca maksudku. Beberapa hari ia tak pernah tampak di Ibnu Qalby Islamic School (IQIS), itulah sebabnya pula aku yang ditunjuk untuk datang. Tawa yang dilemparkan Fathimah padaku menyiratkan maksud lain, apa gerangan jawab yang akan ia beri jika kutanyakan alasan ketidak datangannya? Tak hanya teman-teman di tapi juga pembina-pembina di IQIS telah banyak yang memasang prasangka rasa bersalah.
"Mungkin Fathimah ngambek dan tidak mau lagi datang ke IQIS karena perdebatan tentang mading tempo hari"
"Mungkin Fathimah dilarang lagi oleh orang tuanya ke IQIS karena sering pulang malam"
"Sayang sekali orang seperti Fathimah itu pergi dari IQIS, ia punya begitu banyak potensi!"
Ah, prasangka yang baik!
Dan ternyata, semuanya begitu salah di mata Fathimah. Apa yang dilakukannya tak ia sangka akan menghasilkan buah semanis itu. Dan tentu saja kakhawatiran yang ada membuatnya merasa dihargai. Meski ia akui kerinduan yang membuncah setengah mati, yang senantiasa bergemuruh dalam dadanya saat ia ingat teman-teman, pembina-pembina, kebersamaan, canda yang kadang melebihi porsinya dan goreskan luka dalam tangis, hingga tawa yang berdera-derai di IQIS. Seperti pengakuan kita tempo hari, bahwa ada yang hilang bila tak ke IQIS, bahwa aku merasa sepi sesaat sepulang dari IQIS yang selalu penuh suara. Bahwa ada rasa tertekan di dada bila teringat semua yang ada di IQIS.
Meski tak ada yang mengingkari bahwa akhir pertemuan pastilah sebuah perpisahan. Suatu saat aku pasti akan pergi... tak tahu kapan waktunya tiba...
Lupakan saja dulu masalah itu, sebab pasti akan jatuhkan mutiara retina meskipun tanpa izin.
Banyak cerita yang mengalir diantara kami, aku dan Fathimah, dan tentu saja semuanya tentang IQIS. Menengok ke langit dari teras, tampak semburat pelangi yang begitu indah...
Seindah keramahan keluarga Fathimah yang tak henti menawaran makan... memaksaku untuk kenyang. Wah, Mas.. Mbak.. perutku bukan gentong! hehe...
Silaturrahmi indah ditemani pelangi yang cahayanya sejukkan hati..
Alhamdulillah...

Rabu, 12 Januari 2011

aku letih, ukhty..

ijinkan kulafazkan kekata dari hati yang sudah tak tahan dilukai.
dua tahun sudah ukhuwah layak debu yang tak pernah tenang duduk letaknya, hinggap hanya sekejap lalu kemudian terhempaskan lagi oleh angin.
kebahagiaan bukan milikku yang bisa kubagikan pada siapapun, engkau boleh memilih mereka untuk temukan hakikat bahagia, dan bukan hanya padaku.
sebab ku bukan malaikat itu sebuah kepastian. kesalahan bak keringat yang selalu mengucur, yang seka tak mampu menahan alirannya.
ketika kesalahan tertampak, ia tutupi matamu dan buatmu berpaling, lalu kau katakan aku berubah. tidakkah kesalahan ini mengajarkanmu bahwa ku tak sempurna?
ayolah, aku letih begini!. engkau yang tak ada hembusan angin pun tiada badai hujan, datang dengan wajah tatap belakang.. perlihatkan sedikit senyum pun tidak!
saat kutanyai, jawabmu hanya tak tahu... apa salahku? apa yang harus kulakukan? jawabannya kembali "tak tahu", lalu bagaimana aku harus berbuat?
jarak engkau bentangkan antara kita, padahal ku berusaha mendekat. tiadakah engkau mengerti?
lalu esok-esok engkau datang memasang topeng "ramah" yang buatku makin tak mengerti...
mempermainkan perasaan...
selalu kau tangisi persaudaraan, selalu engkau teteskan air mata tentang ukhuwah, sementara engkau cabik-cabik ia dihadapanku!
bahagia bukan milikku, tapi milik-Nya.. bila kau minta, mintalah pada-Nya!
debu ukhuwah akan semakin enak dipermainkan angin...
(padahal inginku bukan begitu!)
kapan ingin kau akhiri semua ini?

luka ukhuwah lagi...

kutahu kecewa baluti hatinya, seperti bagaimana aku merasa...
lalu, kenapa ia lakukan itu? menambah parah luka ukhuwah yang belum sembuh
perubahan selalu menjadi alasan ia mengungkit "diam"
dan lagi, kau lakukan hal yang sama, disaat aku lelah merongrong tanya yang kau jawab dengan ketidak tahuan.
bila itu pilihanmu, aku tiada kan memaksa. aku telah letih meladeni "bisu"mu..
bertahun sudah episode ini berulang dalam kebersamaan kita.
maafkan bila "tega" tindakanku padamu, aku tetap memilih janji untuk terjadi. tak ingin lagi merasakan sakit yang sama. banyak hal yang sudah melewati batas waktu menetapi ruang di hati, sudah saatnya berganti dengan hal yang lebih besar dan penting.
maafkan bila terdengar sombong... aku hanya ingin melesatkan diri. walau salah tak bisa ku mengelak dari beberapa telunjuk. izinkan pembelaan mengumumkan diri, maka saat kuminta jawab atas kesalahan apa yng telah kuperbuat, jawablah sejujurnya, katakan saja! atau bila masih berat, tunjukkan apa yang mesti aku lakukan! ah, kemarin kau hanya ucapkan "tak tahu!". jawaban yang menggiringku ke lembah kebingungan.
meski beberapa teman memintaku untuk menunjukkan tegas dalam marah, aku tak berani setega itu. bagiku "diam" ini sudah menjadi "tega". tak usah sok akrab di keramaian, semuanya hanya menambah sakit. engkau yang melakukannya lebih dulu.
aku hanya menanggapi.
aku capek!
Ayolah ukhuwah, dekap kami lagi!

gambaran hati yang kembali terdiam