Selasa, 24 Mei 2011

My Mother's Spirit

“Mama yakin kamu bisa melakukannya!”, ujar mama menyemangati saat aku gemetaran, dipasangkan alat pengaman untuk flying fox.

“Insya Allah, Ma!” jawabku.

Mama masih menungguiku di bawah saat aku dinaikkan ke atas dan bersiap meluncur. Senyum mama mengembang, tangannya terkepal keatas,

“Ayo, Rey! Kamu bisa, nak!” teriak Mama.

Keringat dinginku keluar. Mama tahu kalau aku phobia ketinggian, tapi aku dipaksanya untuk terbang. Kutahu niat mama baik untuk menghilangkan segala katakutan yang tak berarti ini. Dengan teriakan takbir aku meluncur... wush.. mataku terpejam. Aku takut! Takut jatuh, padahal tali pengamannya sangat kuat, takut tali tempatku menggantung putus padahal semua peralatan sudah sesuai prosedur, takut ini.. takut itu.. berbagaia ketakutan bermunculan di pikiranku.

Tapi sebentar, aku sudah sampai di bawah. Cepat sekali? Padahal aku menikmati terbangku tadi. Ternyata tak seburuk yang kupikirkan, buktinya aku baik-baik saja. Malahan pengen terbang lagi rasanya. Mama menghampiriku sambil terus tersenyum,

“Bagaimana Nak?”

“Heheh.. seru ma!”

“Alhamdulillah, sekarang anak mama udah berani!”

Yah, mungkin memang hanya butuh waktu yang lama, sebab phobia ini sudah bertahun-tahun sejak aku masih kecil, saat itu duduk di kelas dua sekolah dasar. Ketika pagi itu aku dan Papa berangkat mengunjungi temannya di pegunungan Lejja. Jalanan yang berkelok-kelok, turun dan menanjak tentu akan membuat mual kalau Papa tidak mengajakku terus bercerita dan bernyanyi. hingga tiba di sebuah tanjakan tertinggi, Papa memintaku untuk berdoa, kulantunkan surah-surah pendek yang telah kuhapal. Mobil pun menanjak, namun tak sampai melewati tanjakan, mobil pun mundur. Kulihat Papa panik, berkali-kali kakinya menginjak rem, namun laju mobil tidak bisa dihentikan. Rem itu tidak berfungsi sama sekali, blong! Arah mobil pun bergerak ke arah kanan jalan, sementara sisi kiri kanan jalan adalah jurang. Mobil yang kami tumpangi terbalik ke jurang. Aku masih ingat posisiku saat itu, kepala dibawah dan kakiku diatas. Itulah kenangan terakhirku bersama Papa. Hanya itu yang teringat jelas dipikiranku. Dan sejak saat itu aku tak pernah lagi berani naik ke ketinggian.

Dengan phobia ini aku hampir tak mengikuti satupu kegatan ekskul di sekolah. Aku merasa tidak mungkin ikut Pramuka sementara mereka biasanya mengadakan pelatihan di gunung, PMR juga begitu, apalagi SISPALA (Siswa Pecinta Alam) yang kerjanya naik turun gunung. Tapi ada Mama yang selalu mendorong dan menyemangatiku. Mama rajin sekali berkonsultasi dengan teman-teman psikolognya, Mama ingin aku sembuh.

“Mama tahu Rey punya bakat menulis yang luar biasa, Rey bisa membuktikan itu kemarin saat lomba menulis puisi? Nanti kalo Rey sudah menjadi penulis hebat, pastinya akan keliling Indonesia berbagi ilmu, bedah buku, dan lain sebagainya. Kalau ketakutan itu tidak diobati nanti Rey ngga bisa naik pesawat dong? Iya kan?”

Meskipun aku masih duduk di SMP, Mama selalu memberikan gambaran cita-cita puluhan tahun kedepan. Mama memang visioner, dan aku juga harus begitu. Mama bahkan punya catatan impian untuk beberapa tahun kedepan, Mama akan ingin umroh tahun depan, beli mobil 2013, padahal siapapun pasti mengerti gaji dosen terbang seperti beliau yang juga harus menjadi single parent buat aku. Aku tidak boleh kalah. Aku harus melawan ketakutan-ketakutan ini. Akan kubuktikan pada Mama bahwa aku bisa mewujudkan segala impiannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar