Melihat sosoknya dari kejauhan, ia masih seperti dulu, gagah dan teduh. Ia yang telah Allah utus untuk membuka mataku akan dunia. Membangunkanku dari tidur panjang yang melenakan. Ia yang selalu kubanggakan, dengan segala ilmu yang ia miliki, dengan segala kebijaksanaannya, kasih sayangnya, kerasnya, begitu pula segala kekurangannya sebagai manusia biasa pun sebagai tanda ketidak sempurnaannya.
Ia dengan caranya sendiri, membimbing kami dari gelapnya ruang dosa dan kebodohan lalu menunjukkan jalan cahaya. Meski tidak semua mata melihat indah gerak-geriknya. Ia sadar mungkin berlebihan tapi kami lalu bisa dibuatnya berubah dan senang bila diajarnya.
Pernah aku diuji, sesuatu yang Allah beri cobaan yang mungkin sulit dalam pandangan orang lain, yang aku sendiri saat itu hampir saja tak kuat. Peristiwa yang tiada kepada seorang pun telunjuk kesalahan bisa ditujukan. Hingga saat terpuruk dan memilih pergi, ia datang dengan segunung kebijakannya
“kau tak boleh pergi, sebab ini kesalahan kami sebagai pembina… “katanya. “bila ada yang harus disalahkan tentu kesalahan ada di pihak kami. Tapi kau tak boleh pergi. Akan ada kesia-siaan, akan ada begitu banyak kerugian dan kemudharatan. Tetaplah disini! Tak usah takut apalagi pergi, kami mendukungmu!”
Apa yang ia katakan sejujurnya membuatku kecewa namun sekaligus membuat semangatku kembali berkobar. Dengan segala sakit hati yang aku terima, sungguh aku ingin segera beranjak dari pondok, meninggalkan semua yang telah torehkan luka dihatiku. Namun ia telah menyemangatiku disaat tak ada yang peduli. Dia telah menarikku dari kubangan lumpur hitam air mata pilu.
Dengan tekad dan semangat darinya, kumulai menata ulang diri. Sekedar tuk buktikan bahwa apa dan bagaimana orang memandangku saat peristiwa menyakitkan itu terjadi, merupakan salah besar. Tawarannya padaku untuk menghapalkan ayat-ayat cinta ilahi kuterima tanpa pertimbangan panjang. Aku makin serius dalam belajar. Hingga mimpi tuk menjadi yang terdepan akhirnya mampu kuraih.
Dengan begitu besar cinta yang ia miliki untuk anak-anak didiknya “Para Penuntut Ilmu” begitu kami sering disebutnya. Tapi, jalan juang memang tak selalu mulus, jalan terjal pasti ada, duri dan kerikil sudah jadi kodratnya menyertai perjalanan. Apa yang ia terapkan sebagai metode pengajaran dianggap buruk oleh sebagian orang. Memang mungkin sebab, disinilah cara pandang orang mampu kita pahami ketidak samaannya. Ia terlalu keras, katanya. Padahal itulah yang membuat kami akhirnya mampu berubah dan menemukan jalan. Ia kemudian ditegur. Ia sadar dengan apa yang telah dilakukannya. Tapi, di sisi yang lain inilah yang kami harapakan sebagai murid yang dididiknya. Kau tahu apa yang ia lakukan selanjutnya? Oh, sungguh rasanya kami tidak beradab saat itu. Ia seorang guru yang telah banyak menurunkan ilmunya, membimbing kami dengan tak pandang waktu, mencuri waktu untuk keluarganya sekedar untuk membimbing kami, dengan pintu rumahnya yang senantiasa terbuka lebar untuk kami. Kini datang dengan pipi yang dialiri anak sungai air mata sambil menyalami kami satu-satu dengan mulut yang terus meminta maaf.
ah, ustadz… kamilah yang seharusnya datang meminta maaf padamu…
tak perlu mendengar semua yang terucap oleh lisan mereka, sebab yang ada di pikirannya adalah kurangnnya pemahaman. Yang mereka tahu adalah sedikit dari apa yang telah kita sepakati bersama dalam proses belajar kita. Sakit hati, bagaimana cara menyembuhkannya?
Engkau pinta kami tuk menuliskan apa yang mengusik hati tentangmu. Dan di empat tahun telah berlalu kini, kau katakan masih tersimpan rapi tulisan-tulisan itu. Selalu kau baca saat butuh hitungan diri. Bijaksana! Satu kata yang mewakili diirimu dihatiku.
Kuminta pada-Nya tuk membalaskan semua kebaikan yang telah engkau beri. Sebab ku tak tahu apa yang bisa kuberi tuk membayar segalanya... karena memang tiada yang akan sebanding dengan semua itu! Jazakumullah biahsanil jaza_!
Untuk seorang ustadz yang telah mengajar dengan hati!,
Abu Auliyaa al-Husnaa
Muridmu, yang selalu merindukan kembali masa-masa belajar dulu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar