Jumat, 09 April 2010

Pelayanan dan Penjual Sayur



Semua orang bisa menjadi hebat karena semua bisa melayani. Anda tidak memerlukan ijazah perguruan tinggi untuk dapat melayani. Anda tidak perlu menimbang-nimbang dan memutuskan untuk melayani. Yang anda butuhkan hanya hati yang penuh belas kasihan. Jiwa yang digerakkan oleh kasih”, perkataan Martin Luther King yang say a baca saat membuka web Pak Eko Jalu Santoso ini, membuat saya kemudian merenung dan berpikir. Betul sekali!, gumamku.

Pelayanan!, mungkin itulah kata kuncinya. Saya masih sangat ingat, saat nenekku masuk rumah sakit, lantaran perlakuan sang dokter yang kurang baik dalam melayani ia sering marah-marah, andai saja tak mengingat sakitnya, sungguh Nenekku dari kemarin-kemarin minta pulang. Nah, kita jadi melihat kejanggalan berarti, sebab Nenekku yang seharusnya merasakan ketenangan terusik jiwa dan emosinya yang mungkin saja kurang disadari oleh dokter. Bukankah emosi yang tidak stabil kemudian menjadi salah satu sebab tidak cepatnya, proses penyembuhan? Sepakat sajalah! Sebab aku tak ingin sok tahu!

Atau pengalaman tanteku yang lalu cekcok dengan perawat rumah sakit! Dengan alasan yang sama, Pelayanan mereka kurang memuaskan. Hingga kemudian kami sekeluarga jadi tidak memilih rumah sakit tersebut jika ada anggota keluarga yang perlu dirawat. Jadi lucu kedengarannya.

Bahkan mungkin pengalaman buruk saya yang kemudian menyebabkan sedikit phobia, dan menjadi sebab terhalangnya rezeki orang lain. Suatu ketika di asrama saat tiba giliranku memasak. Memasak untuk teman-teman satu asrama. Persiapan ke kampus kadang membuat kami tak mendengar teriakan tukang sayur yang lewat depan rumah.

“Yur… sayur…!”

“Tahu, tempe, ayam..!”

Atau mungkin teriakan kami tak sampai di telinga sang penjual tempe dan sayur. Teriak sekali, penjual temped an saayurnya telah berlalu.

“hu… penjual kok’ ngebut, mana laku jualannya kalo begitu, memang bukan rezekinya!”, ah, kami hanya mampu menggerutu.

Hingga tanpa terasa mentari semakin menanjak tinggi. Dan hei, sepertinya semua penjual sayur telah berlalu di depan rumah. Aku belum beli sayur, nih! Gaswat dasrurat! Teman-teman makan tanpa sayur? Makan kering lagi deh, kalo keselek, aku yang bertanggung jawab dong? Wuish, Naudzubillah!

Sampai kemudian aku memutuskan menunggu tukang sayurnya di teras, sambil berdendang ria

“Menunggu ternyata menyakitkan..”, hehe.. lagu jadulnya Ribas pemirsa, untung waktu itu lagunya “Aizhiteru” belum nongol. “menunggu sesuatu yang sangat menyebalkan bagiku!”, Kalo udah, bisa-bisa aku direkrut paksa sama direktur elektone samping rumah, bukan sebagai penyanyinya tapi jadi juru test mic-nya… hehe…

“test…test.. testing mic, 1….2…3..!”, aku berbakat kan?.

Eh, kembali ke laptop!. Tiba-tiba dari ujung lorong terd\engar suara merdu, “oe.. sayur!”

“Hua..a.. yuu..ur!” teriakku lantang.

Oe, sadar neng beliau masih di ujung lorong noh!, hehe… malu-maluin. Bikin gempar jalan perdata aja!.

Setelah pilah-pilih, bongkar-bongkir, tawar-tawir, akhirnya aku berhasil menghancurkan jualan daeng tukang sayur. Hahaha.. ngga’ ding, lebay deh! Eh, dia juga berhasil meludeskan uangku…

Setelah masuk ke rumah, dengan kening berkerut aku merasa ada yang kurang! Yah, penjual itu berhasil membawa lari uangku seribu perak!, jangan salah, kalo ngga ada seribu uang Rp. 999.000,00 gak bakal jadi sejuta! Ya, ngga?. Namun apa daya, dia tlah pergi meninggalkanku, maksudnya udah jauh dan tak mungkin kukejar lagi. Ya sudahlah! Ikhlasko hati! Aku segera mengumumkan kepada teman-teman bahwa aku baru saja ketipu! Lalu kemudian mengatur undang-undang yang tidak benar yaitu, dilarang membeli sayur kepada penjual tadi.

Hari pun berganti, meinggu-minggu demi minggu. Tiba lagi jadwal masakku, dan peristiwa yang sama terulang kembali. Sebenarnya sih, jujur dari hatiku yang terdalam aku tak mau membeli sayurnya lagi, namun apa boleh buat udah ga’ ada penjual yang lain lagi?. Hanya saja masalahnya ini penjual sayur memang ngga’ bener! Kenapa engga, lain yang kuminta, lain yang dikasi, ditawar segini, kembaliannya segitu! Ah.. berdebat juga ga’ ada gunanya. Ya sutralah!.. Maka semakin kuatlah peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan. Hari-hari berikutnya tiap melihat penjual sayur itu lewat, teman-teman pada ga’ mau beli, dan langsung bilang,

“tuh bombe’nya Syifa!”, woallah ko’a kepadaku penisbatan itu ditujukan!

Afwan yah daeng penjual sayur! Ini bukan salahku!

Ah, andai saja semua pedagang, perusahaan yang mmeberikan pelayanan jasa, instansi pemerintah, guru-guru, termasuk kita juga mau melayani dengan sepenuh hati tentu saja sukses akan teraih. Perusahaan yang senantiasa mau mendengarkan dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan, keinginan dan harapan konsumen niscaya akan lebih mudah dalam eraih dan memepertahankan kesuksesannya. Betul?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar