Disana aku memulai perjuangan, mendaki bukit kesungguhan walau harus bermandikan peluh. Mewarnai hari dengan suka dan duka yang janjikan bahagia.
Di Al-Azhar aku meyemai kebersamaan dengan mujahidah-mujahidah yang semangatnya selalu berkobar, merajut ukhuwah yang penuh warna-warni. Merangkai cerita yang takkan habis dalam satu buku, Karena kisah kami adalah kisah yang tak bisa ditafsirkan dengan akal, kisah yang terpatri dalam hati, kisah yang merebak dalam jiwa dan menghidupkan cinta. Kesabaran seperti seperti tanah yang harus rela tertetesi air hujan dan nantinya akan membasahi, terserap, menumbuhkan, dan menyuburkan. Kesungguhan, keseriusan, dan pengorbanan adalah sebuah resiko yang menhunjam dalam. 1800 hari mungkin terlalu lama bagi orang lain, tapi sekali lagi cinta menghidupkannya dan membuatnya lebih indah. Setiap hari, harapan, angan-angan, cita, asa, dan keyakinan tumbuh dari sela-sela otak dan terus membayangi.
Di sebuah asrama, disitulah kami bernaung, yang disetiap dindingnya dipenuhi ukiran cinta, atapnya adalah kasih sayang, tiangnya ketulusan, dan lantainya kesabaran. Setiap sudutnya ada tawa ceria yang sesekali berganti tangis.
Memulai hari dengan dzikir, mengingat-Nya… menyebut asma-Nya.. mengagungkan-Nya kebesaran-Nya. Mengharap kakuatan-Nya agar selalu ada keridhoan di setiap ilmu yang diperoleh. Karena perjalanan sehari butuh kekuatan, butuh keridhoan. Memohon kasih sayang tuk terangi jalan menuju cinta-Nya. Kemudian melanjutkannya dengan tilawah, membaca surah-surah-Nya. Setelah itu, engkau akan menemukan kami mengantri di kamar mandi, yang memulai akan berteriak “ana awwalan!!!”, saya yang pertama, disusul dengan teriakan-teriakan selanjutnya “ana ba’daki!!!”, saya setelahnya!. Tapi, tentu saja antrian yang telah tersusun begitu rapi berjalan dengan lancar, sesekali ada yang datang dan bertanya “man fidda-khil?”, siapa didalam?. Hem.. bukan karena ingin menerobos dan melanggar antrian tapi, karena ada sesuatu yang harus keluar dan terbuang. JJJ. Detik-detik berlalu, semua mengambil bagian tugas masing-masing yang telah diatur.. semua bekerja, semua kebagian dan semua harus bergerak. Menyapu lantai atas, bawah dan pekarangan, mengepel, menyikat sumur dan WC, ambil nasi, cuci piring, buang sampah dan membersihkan ruang makan, begitulah!. Adapun yang bertugas ambil sarapan di rumah Bunda, dituntut untuk segera menjalankan tugasnya, karena alunan musik kelaparan sedari tadi mulai mengalun dalam perut. Tidak terlalu jauh, …langkah. Dan Bunda disana telah menanti dengan senyuman meski terkadang ada penyampaian keluhan sedikit-sedikit “tempeji kodong, tenaki juku!” atau “e…dedeh!!! Mauki ini pergi pasar na tidak ada uang, tenaki doi!” atau bila sedikit terlambat ada teguran kecil, “kenapaka nasello du..du!!!”. JJJ. Sepulangnya, setelah memasuki pintu ada mantra yang harus diucapkan dengan lantang, yah.. setidaknya sampai seluruh penghuni Ukhuwah Mendengar. Mantra apakah kiranya, saudariku?. Oho, tidak terlalu sulit, katakan saja “hayya na’kuuuul”, mari kita makan?. JJJ. Setelah itu biasanya disertai dengan sebuah pertanyaan khas “ayyu idam, Ukh?”, apa lauknya, ces?. Tempe aneka rasa kreatif Bunda, kue telur, mie, juku berbagai jenis dan suku (goreng, masak, kering ataupun basah) plus krupuk made in Bunda ataupun cap panda atau krupuk udang. Setiap hari dengan menu yang berulang-ulang…
Yah, kisah terus berlanjut.. kamipun bersiap-siap ke kampus tercinta menjemput ilmu-Nya, menemukan cahaya-Nya. Disana ada asa_tidza_t yang ikhlas membagi ilmu, yang mengajar dengan hati, yang tak bosan mengingatkan, memotivasi, mendorong, tulus penuh kesabaran, mengorbankan semangat, meluluhlantakkan kemalasan dan terus membangkitkan jiwa untuk meraih mimpi. Merekalah pahlawan yang sesungguhnya. Setiap hari berjuang tanpa keluh kesah, berganti senyuman dan sapaan hangat. Sosok-sosok yang begitu berjasa telah membuka hati dan pikiran. Mereka selau sibuk membagi waktu, kadang tak punya waktu untuk kami. Mereka tak hanya mengajar maddah-maddah kampus, lebih dari itu mereka mengajar dengan sepenuh hati dan jiwa, hingga kamipun menerima dengan penuh keikhlasan. Kuingin melantunkan doa untuk mereka di setiap shalat semoga Allah membalas kebaikan mereka. Amiiin..
Kampus Al-Azhar sebuah kampus yang begitu sederhana. Dengan cat yang sebagiannya mulai terkelupas, ia masih tampak kokoh. Tanpa pagar yang membuatnya angkuh. Disana selalu terdengar gaung-gaung asa dari mujahid-mujahidah al-Azhar yang selalu bertambah dari hari kehari terpantul di dinding-dindingnya.
Pelajaran berlanjut hingga waktu berakhir, saat adzan berkumandang… namun, jika masih ada pelajaran yang tertinggal kami yang masih belajar, terdiam dan menjawab lantunan adzan sang Muadzdzin. Akhinya kami pun melangkah pulang, bila tak terkejar rasa lapar, kami segera mengambil air wudhu, basuahn air membuat jiwa terpercik kebeningan. Air itu mengalir bersama dosa dan khilaf ayang telah dilakukannya.
Perjuangan terus berlanjut.. hari demi hari kami lalui dengan beragam tunas yang terus tumbuh dan berbunga. Tak ada keinginan yang menerpa ruang kosong. Kerinduan akan keluarga di kampung tentu saja ada, teringat ayah dan ibu yang tak pernah berhenti mendoakan. Teringat adik-adik yang menambah semangat. Terkenang tanah kelahiran dan keluarga besar yang selalu merindukan kepulangan. Mengingat semua itu seperti tak perlu memaksa air mata untuk menetes. Bendungan di pelupuk matapun pecah dan menetes.
Dan kemudian ada yang harus kembali, menghentikan perjuangan, meninggalkan Al-Azhar. Bukan menghentikan langkah juang tapi menempuh jalan lain, dan itu bukan di Al-Azhar. Meneruskan perjuangan dengan mengubah haluan di satu jalan yang telah kami lalui, Berpindah tumpangan ke kendaraan lain, dan tidak bersama kami lagi. Yah, ustadz bilang “inilah seleksi alam!”. Dan itu memang betul… satu perasatu kemudian pergi. Menyisakan raut sedih di wajah kami yang harus kehilangan teman juang.
Saudariku, kita takkan berpisah, sejauh apapun kaki melangkah. Aku takkan lupa beribu kisah yang telah kita jalani bersama. Satu duka, kita rasakan bersama, menangis dan tersenyum. Satu duka, satu rasa yang tak pernah terpisahkan. Walau kini ada jarak dan ruang yang memisahkan tapi, hati kita selalu bersama. Saat kerinduan menyerang aku hanya bisa membiarkan mutiara-mutiara di pelupuk mata berjatuhan. Aku biarkan sepi dan rindu datang menghampiri dan menyesakkan dada.
Sahabatku, berapa hari yang telah terlewati, jika disana ada tangis Karena duka, aku yakin itulah yang menguatkan kita, jika ada tawa yang berderai bersama itulah tali yang mengikat kita..
Saudariku… perpisahan diantara kita itu hanya menurut pandangan orang lain, di mata kita tak pernah ada kata berpisah. Jiwa akan tetap terpaut.
Saudariku.. Jangan biarkan tunas harap itu layu. Raih cita-citamu.. kami
Di Al-Azhar inipun aku tersentuh dunia tarbiyah, dunia yang tak sekedar menyentuh tapi kemudian membuka, menunjukkan, dan menuntunku meniti jalan cinta-Nya. Jalan yang tidak mudah untuk dilalui, Karena halangan dan rintangan memenuhi sisi-sisinya.
Jenuh dan bosan yang mencoba menjerat jiwa tak akan jadi alasan berhentinya perjuangan, karena obatnya adalah tawa riang yang bisa kami ciptakan sendiri. Rasa lelah tak membuat langkah kami terhenti karena istirahat sejatinya di surgalah kiranya.
Diujung setiap mimpi yang terbang bergantungan ada harapan besar, semoga dibalik kampus sederhana ini akan keluar kesatria mujahid-mujahidah yang akan meraih dan menegakkan kembali panji- panji yang sempat runtuh.
(MASIH BERSAMBUNG…)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar