Menyusuri jalan-jalan yang lusuh berbedak tebu tebal. Makassar telah tumbuh menjadi kota yang agak sedikit norak tapi kemudian terlalu percaya diri. Siapa yang kemudian bangga dengan macet ini?. Siapa yang kemudian yang akan terkesan dengan kotornya kota ini?. Siapa yang mau tersenyum dengan sampah-sampah yang melukis muram di wajah Makassar?. Gejala keindahan hanya sedikit menyerang manusia. Ia memadat dalam benak, sebagian besarnya bahkan tak hirau lagi. Makassar berbenah meniti likungan hari.
Harapan untuk menjadi lebih baik memang butuh peluh yang bercucuran, butuh kerja keras dan tentu saja ”cinta”. Tapi? Mengapa keamanan tidak lagi dirasakan sebagian orang?. Apakah Makassar yang telah mencipta daya itu?. Aku pernah melirik sejenak ke jalan nusantara, naudzubillah... aku yahu bukan hal seperti itu yang banyak diharapkan banyajk orang. Ada klub-klub dan wanita-wanita malam yang menjadikan kemaksiatan sebagi pekerjaannya. Suram pandanganku dari sudut itu. Disinilah mereka yang gersang separuh jiwanya (atau bahkan semuanya) mancari bahan untuk sedikit tersenyum. Untuk sedikit kepuasan dan menghabiskan banyak waktu. Lelah, disitulah sebagian jiwa sedang merasa. Hampa, namun tak banyak yang bergerak untuk mengisinya. Uh...
Di sudut sana mata akan saksikan mereka yang tak punya atap, dinding dan selimut, yang habiskan lelap di bawah emperan toko... yang terkadang tak terisi perutnya berselang hari...
Yang Makassar...
Yang beri banyak harapan...
Yang....
Yang...
Makassar, masih adakah siri' na pacce?
BalasHapus