Seperti menemukanku tiga tahun lalu di terowongan kereta kelam
Aku yang penuh luka bahkan sebagiannya telah bernanah
Merintih sendiri menyaksikan gerbong-gerbong kereta berlarian melintasi rel-rel tua
Dan jilbab kusamku melambai diterbangkan deru angin sisa laju kereta
Aku disaksikan berjuta mata yang duduk disamping jendela kaca yang sebagiannya telah pecah
Mungkin mereka terbersit sedikit iba, atau mungkin banyak yang biasa, acuh dan abai.. (Berenang dalam gelombang pikir masing-masing)
Aku menenggelamkan wajah didekapan lutut,
Hingga diujung kereta..
Gerbong terakhir!!
Ia berhenti tepat dihadapanku, pintunya terbuka, cahaya cepat merambat menyinariku membuatku tersilau tak mampu menatap jelas
Kuperhatikan seksama, di jendela yang memanjang begitu banyak mata menatapku tersenyum,
Bibir yang mengajak serta tangan yang melambai berayun kedepan, memintaku segera naik
Gerbong sederhana namun bersahaja
tak ada kelas ekonomi, apalagi bisnis
Semua duduk berdampingan tanpa beda
Ramah dan santun gaya bicaranya
Lalu kucoba mengikuti, memahami alur gerbong kemana menuju
Ternyata jelas arah kedepan, tertata langkah yang kan ditempuh, serta lengkap bekal di lumbung penyimpanan
Awalnya kukira salah diriku memilih, banyak kawan yang katakan ini tak tepat
Hingga aku dihantam amukan ragu.. Oh, aku tak tahu apa-apa (saat itu!) yang kulakukan adalah terus mengikuti arus mengalir
Persoalan demi soal, terjawab satu-satu
Luka-lukaku mengering bahkan ada yang telah sembuh
Suasana gerbong begitu hangat tuk mengobatiku
Kulahap obat, kuperkuat diri, dan kususun waktu yang akan kuisi dengan ibadah
Menikmatinya, sungguh!
Walau sering pula gejala penyakit menyerang, jatuh lagi
Sebab ada luka besar yang masih dirawat
Kuterus perbaiki diri, menjahit yang robek, menambal yang berlubang, dan menyulam indah yang biasa agar lebih elok di mata-Nya
Kadang rapuh sebab kupaksa diri penuhi tuntutan target
Padahal itu salah, (itu yang kupelajari hari ini!) Ekonomis!
(Yah, Al-iqtishad fi Ath-tho_ah)
Yang terpenting alirannya tak terhenti, bila batu besar dihadapan menghalangi, berbeloklah! Temukan celah!
Aku pun mulai belajar menarik banyak yang lain, kududukkan mereka di tempat dudukku. Aku yang berdiri bergelantungan, tak mengapa!
Sampai aku berani menegur, "Bukan begitu cara menyapu yang benar!"
(Saat kulihat sapu ditangannya diayun memutar, teman segerbong dan secita)
Debu akan kembali menempel di lantai yang telah kau sapu!
Pelan-pelan, sebab semua punya fase saudaraku!
Lakukan dengan tenang, bukankah keinginan kita sama-sama melihatnya bersih?
Bedanya, engkau yang menyapu dan aku yang mengepelnya!
Di gerbong ini kami banyak berada, saling menguatkan cita hingga nanti kereta api kami tiba di stasiun, muara segala mimpi, bertemu dengan-Nya!
Amin..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar