Selasa, 25 Mei 2010

Luka di Hati dan Lengannya

24 Mei 2010 sekitar pukul 16:00
Selepas menengok Ibu seorang sahabat di Rumah Sakit Ibnu Sina,
:Sampai beliau tak mengenalku, kecelakaan itu membuat memorynya terganggu. "Hilang memoryku, nak!", begitu keluhnya padaku. Akupun sama, sampai tak mengenal beliau, kepalanya habis operasi. Semoga Allah gugurkan dosa-dosanya atas musibah ini. Amin..:
Setelah itu beranjak ke terminal, menjemput Dinda yang ngambek dan hendak pulang.. Hehe.. Lucu!
Akhirnya mendarat di Ibnu Qolby, bertemu adik-adik yang semakin semangat saja, tapi kali ini mereka gelisah. Kenapa? Jawabannya adalah, sebab tidak lama lagi festival nasyidnya berlangsung, padahal memilih lagu saja mereka masih bingung. Meminta saya untuk melatih? Tidak salah nih?:-D
Kucoba mengintip ke ruang kelas Ibnu Qolby, mataku menangkap sosok Wahyu disana.
"Wahyuu..", sapaku seperti biasa.
Namun jawabnya kini berbeda, senyum dikulumnya bercampur sedih yang menjalar di seluruh raganya. Ia menunduk. Dulu selalu ceria membalas sapaanku. Wahyu seorang remaja yang kuat terlihat dari fisiknya, tapi siapa sangka ia begitu rapuh? Ia mudah melukai dirinya, kau tak lihat bekas puntung rokok yang ia matikan apinya di lengan, (ah, aku tak tahu bagaimana membahasakannya) begitu banyak. Seperti bekas cacar, atau kain dengan corak polkadot. Lengan kiri dan kanan, sama saja!
Kali ini kulihat ia beku, ia bersandar di dinding, lemah sekali. Sampai kemudian yang adik-adik kecil (Alim, Mail, Adit, Ami', dkk) membisikkan sesuatu padaku.
"Berdarah tangannya Wahyu ka'!"
Setengah tak percaya, mulutku pun yang setengah terbuka. Kulihat Wahyu terkesima. Kudekati ia yang terus menunduk. Kuperhatikan kedua lengannya. Masya Allah!
Dia melakukannya lagi, bukan dengan rokok seperti biasa. Darah segar setengah mengering di lengan kiri. Ia lukai dirinya, sebelumnya kuberpikir dengan silet. Kutarik tangannya setengah memaksa, sebab ia tak suka lukanya kuamati.
"Apa ini Wahyu?", suaraku meninggi, semoga tidak diartikannya sebagai bentakan.
"Tidak ji, kak!" jawabnya dengan penuh kecewa.
Kutanyai apa sebabnya, problema keluargakah, temankah, atau keuangannya? Sebenarnya sudah mulai menjawab, namun kutahu ada malu yang menyergapi dadanya. Andai saja ia wanita kuyakin sedari tadi air mata telah membanjir. Kutawarkan sesuatu,
"Kak Syifa bersihkan yah, tunggu disini jangan kemana-mana!", untungnya langit sdang menjatuhkan gerimis kecil, membuat ia malas pergi dari Ibnu Qolby.
Ya Allah, anak ini mengapa begitu mudah melakukan tindakan bodoh melukai dirinya. Lengan itu ia seperti dicincangnya dengan beling. Lukanya bergaris vertikal banyak. Menurutnya luka di hati akan sembuh dengan menambah luka di fisiknya? Oh, tidak adikku!!! Yang ada malah lukamu bertambah-tambah!
"Saya lebih memilih dipukuli daripada harus begini kak!, biar sekalian mati saja agar berakhir semua problema!"
"Hah? Menurutmu, mati bisa menyelesaikan segalanya? Tidak adikku! Berceritalah katakan masalahmu"
Ya Robby, sulit kupahami akankah cobaan yang Engkau beri padanya begitu beratnya ataukah ia yang tak tahu cara yang benar menyelesaikanya? Robby.. Tuhanku.. Kumohon beri ia kekuatan dan kelapangan dada bersama titik ujian yang Kau jatuhkan di jiwanya. Amin..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar