Senin, 31 Mei 2010
SORE INI
Sore ini, denting hujan terdengar merdu.
“Saat seperti ini, yang kutunggu hanya pelangi!”, katanya.
“Baiklah, mari kita menunggunya bersama. Tapi kalau ia tak datang?”
“Tak mengapa, bukankah dalam jiwa kita selalu ada pelangi seperti yang aku bilang?”
Ah, jawabannya membuatku tersenyum.
~~~
Sayangnya, tidak semua orang menginginkan sang pelangi bergantung di langit-langit hatinya. Ada yang menarik untuk kemudian dibuangnya ke tempat sampah kebencian. Entah benci dengannya, atau memang tak suka akan warna-warni. Tak merasakan riangnya dunia, sengaja membangun sekat agar orang lain tidak bisa bercengkrama bebas dengannya. Seperti kemarin sore, Allah mempertemukanku dengan ia. Yang telah tercerabut pelanginya. Datang dengan tergopoh-gopoh, nafasnya berburu dengan langkahnya.
“Assalamu ‘alaikum!”
“Wa’alaikum salam, masuk kak!”, ajakku.
Ia mendudukkan dirinya di kursi ruang tamu, sementara aku bersama adik-adik Ibnu Qolby masih memandangnya penuh heran. Kujelaskan bahwa hanya aku disini menemani adik-adik, tak ada kakak-kakak yang lain. Terang saja kecewa melumuri wajahnya. Tiba-tiba saja ia terisak, aku terkaget. Bagaimana tidak, ini orang datang-datang langsung nangis aja!
“Ada apa kak?”, tanyaku.
Dilepaskannya kedua tangan yang tadi ia tangkupkan di wajahnya. Tapi kucari air mata, mengapa aku tak menemukannya? Padahal tadi ia terisak keras?. Ah, sudahlah.. husnu zhon dong!
“Adikku di Jakarta sedang koma. Ayahku juga sakit parah!”
Lho? Ada yang aneh!
“Aku butuh uang dua ratus ribu, aku harus segera berangkat ke Jakarta. Tadi telah kucek harga tiket harga empat ratus lima puluh ribu, tapi yang ada hanya enam ratus ribu. Setengah enam kapal akan segera berangkat!”
Kutengok jam di dinding, jam setengah lima. Berarti sejam lagi!.
“Ada tidak, yang punya golongan darah AB+? Beratnya 65 kilogram?”
Wah, yang benar ajha? Tidak liat apa, disini hanya ada aku dan adik-adik Ibni Qolby? Aku saja yang besar begini (iyakah?:-D) beratnya gak sampai segitu. Apalagi yang laen cuma anak-anak? Kalo mau ambil darah kan tidak perlu beratnya sampai 65 kilo? Seingatku cuma diatas 45 kilo?
“Baiklah, aku kira ada kakak pembina yang lain. Baiklah aku harus buru-buru!”
“Em, disini ada uang kok, kak! Tapi ngga’ sampai segitu, yang ada hanya seratus ribu. Kebetulan tadi baru dikasi sama teman. Eh, tapi masih ada kok, uang simpanan lima puluh ribu. Seratus lima puluh aja jadinya!”
Uang yang baru saja aku terima dari sekolah masih di dalam amplop aku tambahkan dengan uang simpananku.
“Ngga’ papa kok! Segini aja! Ok, saya pulang dulu, saya buru-buru. Nanti uangnya, saya titip ke kakak yang lain yah?”
“Iya kak, hati-hati ki’!”, kataku.
Wah, senang melihat ia tak sesedih tadi. Ia segera berlalu, menyisakan pikiran-pikiran yang membuatku otakku terus berputar. Yang jelas tertangkap adalah ketika ia katakan bahwa ayahnya sakit, bukannya saat pertama kali ke Ibni Qolby ia telah katakan Ayahnya telah berpulang ke Rahmatullah? Jadi bingung!
Ah, sudahlah orang Arab bilang, “FATA MA FATA”, yang lalu biarlah berlalu.
~~~
Sementara mengikuti pelajaran teori berdebat yang dibareng game-game di kelas Ibni Qolby, aku dipanggil oleh Bunda Mala.
“Syifa, katanya tadi ada orang yang kau beri uang?”
“Iya Bunda!, itu loh yang pernah datang kesini!”, jelasku.
“Dia bilang apa?”
Lalu mengalir lagi cerita tentang apa yang kulakukan tadi.
“Bunda kok, kurang percaya sama orang itu? Dia pernah datang kesini, cari kak Uci’. Sambil terus menepuk dadanya, ia bilang saya dokter, saya seorang dokter. Berulang-ulang kali. Ah, tidak mungkin seorang dokter sampai harus segitu pengakuannya. Waktu itu mau pinjam kamera, mau dia pake buat acara wisudawan. Untungnya saat itu kak Uci’nya tidak ada! Jadi, berapa uang yang kau beri padanya?”
“Seratus lima puluh ribu, bunda!”
“Masya Allah, Syifa! Semoga ia tidak berniat buruk!”
“Bagaimana ngga’ ngasih Bunda, dia sampai nangis-nangis meski ngga’ pake air mata! Kasihan!!”
Adik-adik yang sedari tadi mengerumuni kami berdua ada yang berkata,
“Ih, kak Syifa ketipu!”
“Jangan bilang gitu dulu dong! Kan belum tentu juga?”, tegur Nuken.
Akhirnya aku baru bisa menangkap jawaban dari sejuta rasa aneh yang tadi menjaring jiwaku.
Ya Allah..
~~~
Memang tidak semua orang menggantung niat yang baik di akal pikirnya. Bukankah hal itu yang telah kupancangkan kuat di hatiku?. Aku tidak sedih kehilangan uang itu, setelah merenungi sejenak mungkin memang sudah rezeki orang itu. Buktinya siang tadi di M’Tos aku hampir memakainya untuk beli sandal, sudah cocok dengan modelnya hanya aku butuh ukuran yang lebih kecil,
“Ada ukuran lima, mbak?” tanyaku pada mbak penjaga toko.
“Ada! Tunggu yah?”
Tapi setelah ia bongkar-bongkir, utak-atik, ternyata...
“Aduh, maaf mbak! Tidak ada ukuran lima!”
“Ya udah, ngga’ papa deh!”
Selanjutnya,hampir lagi aku pakai beli tas. Namun kuurungkan niatku.
Mungkin memang bukan untukku. Tapi kuyakin Allah akan gantikan dengan yang lebih baik dan lebih berkah. Semoga aku menjadi korban terkhir darinya, tiada lagi orang lain. Allah, bangunkan ia dari lelapnya kebingungan menjalani hidup hingga harus melakukan ini. Ampunkan ia... tunjuki ia jalan yang lurus... Amin..
Inilah yang kami tunggu!
~~~
Hujan telah mereda, kutatap langit. Aku tak kecewa, sebab kuyakin pelangi dijiwaku selalu memijar warnanya...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar